Ketua Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo, mengatakan "Bila ada oknum wartawan yang mengaku dari media atau pun organisasi wartawan menghubungi Bapak/Ibu silakan tolak saja." Ungkapan Ketua Dewan Pers adalah sebuah jawaban atas maraknya oknum wartawan minta THR ke berbagai instansi dan lembaga. Termasuk sekolahan, terutama sekolah favorit jenjang SMA.
Gejala tak sehat yang lahir dari oknum wartawan yang tak sehat dibaca Dewan Pers sebagai tindakan yang merusak citra. Dewan Pers dalam imbauan surat resminya tertanggal 30 Mei 2018 tidak mentolerir paraktek buruk wartawan minta THR. Menurut Dewan Pers tindakan minta THR dapat dilaporkan kepada polisi bila mereka memaksa, memeras dan mengancam.
Surat imbauan yang beredar berkaitan perilaku menyimpang oknum wartawan cukup memberi penguatan terutama bagi lembaga sekolahan. Sekolahan bukan lembaga profit maka sangat janggal bila oknum wartawan, LSM dan ormas meminta THR ke sekolahan. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang humas di salah satu sekolahan ditemukan sebuah modus unik.
Tidak sedikit beberapa surat minta THR tulisan dan tanda tangan mirip namun kop surat dibedakan. Diduga satu oknum menulis beberapa permohonan minta THR agar dapat double THR. Sebuah ikhtiar "kreatif" demi mendapatkan rezeki menjelang momen hari raya. Padahal jangankan untuk memberi THR oknum wartawan, untuk THR guru honorer saja sekolahan harus putar otak.
Bisa menjadi pertanyaan sederhana. Bila sekolah favorit setiap tahun selalu memberikan THR pada puluhan atau ratusan oknum wartawan, uangnya darimana? Laporan dan peruntukannya berdasarkan aturan apa? Sumber uangnya darimana? Bila ternyata oknum wartawan selalu diberi dan langganan, dimungkinkan ada yang tak sehat di sekolah tersebut. Nyamuk hanya mendekat pada bau anyir darah. Jangan-jangan ada bau "anyir" tak sehat?
Bila ada oknum wartawan minta THR bukan minta berita maka oknum wartawan dipastikan tak sehat. Bila ada sekolah selalu dengan mudah "menebar" rezeki pada wartawan dipastikan sekolah itu tak sehat. Dua entitas tak sehat ini idealnya "disaber pungli". Bila keduanya "mesra" dan selalu berbagi maka dunia sekolahan mau dibawa kemana. Ke laut? Tentu tidak!
Bisa menjadi sebuah kesimpulan sederhana bahwa setiap oknum wartawan yang memintab THR pasti dari media bermasalah. Dalam pemantauan penulis hampir tidak ditemukan wartawan dari media ternama dan bonafid meminta THR dan lain-lain. Media yang sehat dan ternama akan memecat setiap wartawan yang memeras atau lebih banyak melakukan "modus".
Begitupun sekolah yang sehat pasti tidak memberikan THR kecuali pada guru honorer. Sekolah yang tidak memberikan THR terlihat seperti kikir namun itulah etikanya. Sekolah yang memberikan THR terlihat seperti baik, sosialis dan ramah tetapi sesungguhnya patut dicurigai. Bahkan secara tidak langsung telah "terlibat" memelihara perilaku tak beretika padahal sekolah adalah rumah penebar etika.
Sungguh sangat tidak indah wajah sebuah sekolahan bila bergerombol atau berkerumun bahkan ada ritual tahunan antrian para oknum wartawan, LSM, ormas mendapat THR dari sekolah. Bila ini dilakukan oleh sebuah sekolah atas dasar apapun maka setiap tahun antrian minta THR akan makin panjang. Berawal dari beberapa, kemudian puluhan dan akhirnya lebih dari seratus surat permohonan THR. Hindari kebijakan sekolah yang membuka peluang pemberian THR pada oknum wartawan.
Mengapa harus dihindari? Karena dapat diduga memberi THR sama dengan menutupi "borok" sekolahan dengan bargaining THR. Bila sekolah tidak memberi THR maka bisa diduga sekolah yang dimaksud adalah sekolah minus borok. Publik akan melihat sekolah yang rutin membagikan THR dapat disimpulkan sekolah tersebut memang bermasalah. Sekali lagi stop THR pada oknum wartawan abal-abal. Berikan pada GTK honorer saja!