Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Pilpres 2019, Pahamkah Kita Akan Demokrasi?

Diperbarui: 3 Mei 2019   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menengok kembali rangkaian fenomena politik yang terjadi mulai dari sebelum pilpres 2019 hingga saat ini. Harus diakui bahwa kontestasi demokrasi kali ini diwarnai dengan iklim politik yang menjemukan (kalau tidak ingin dikatakan memuakkan) dan bahkan menjerumuskan.

Bagiaman tidak, beberapa bulan menjelang hari pencoblosan. Isu-isu politik yang barbau profokasi nyaris diangkat berulang kali. Polarisasi fenomena politik ini pun berbuntut pada munculnya sikap fanatik yang mendewakan kubu yang didukung dan berusaha menjatuhkan kubu yang dianggaap lawan. Saling fitnah dan saling tuduh tak ayal melahirkan kebencian.

Tidak salah jika kita menuangkan sikap politik kita dalam bentuk dukungan terang-tengan atau kampanye yang bertujuan mempengaruhi pemilih lain agar memilih orang yang sama dengan yang kita dukung. Tentunya yang kita harapkan dapat membangun dan mengembangkan Negara ini. Tapi tidak perlu saling membenci, karena hal-hal semacam ini justru berpotensi melahirkan perpecahan.

Iklim politik yang menjemukan ini tidak lain merupakan hasil dari kurang pahamnya kita mengenai demokrasi itu sendiri.  

Demokrasi berasal dari kata demokratia yang mana merupakan salah satu kata dari bahasa Yunani. Demokrasi sendiri memiliki arti kekuasaan rakyat. Adapun secara umum, demokrasi terbagi menjadi dua kata, pertama adalah kata Demos yang maknanya adalah rakyat. Dan kedua adalah kratos yang maknanya adalah kekuatan atau kekuasaan. Jadi, jelas sudah bahwa inti dari demokrasi adalah kekuasaan tertinggi yang ada ditangan rakyat.

Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Reza A.A Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya. Ada 4 pilar yang menyangga demokrasi. Empat pilar tersebut diantaranya kemampuan mengelola perbedaan secara sehat (1), tidak adanya kekuasaan politis yang bersifat mutlak (2), akuntabilitas serta transparansi kekuasaan publik (3), dan partisipasi publik yang tinggi dari setiap warganya (4).

Berikut ini penjabaran versi saya sendiri yang jika dirasa kurang tepat. Saya selalu terbuka untuk mendiskusikannya. Tentunya tanpa perlu naik pitam dan saling membenci setelahnya..

1. Kemampuan mengelola perbedaan secara sehat.

Dari pilar yang pertama saja, sudah menegaskan bahwa banyak diantara kita yang gagal paham tentang demokrasi. Dewasa ini, kita cenderung memaksakan keseragaman dengan dogma sebagai senjata utamanya. Apa yang kita sampaikan sebagai pihak yang (merasa) benar harus ditelan mentah mentah oleh mereka yang menjadi objek pesan kita. Padahal puluhan tahun silam, salah satu aktivis kawakan yang kini menjadi kiblat bagi aktivis-aktivis baru era sekarang sudah lama meneriakkan bahwasannya "guru bukanlah dewa, dan murid bukanlah kerbau".

Sesungguhnya, Demokrasi tidak pernah menghendaki adanya keseragaman. Bahkan kebebasan mengungkapkan pendapat lah yang dijunjung tinggi. Kita sebagai masyarakat sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi hendaknya memandang perbedaan sebagai suatu fakta kehidupan. Kerena pada hakikatnya, tidak ada pola hidup yang seragam. Seragam adalah hasil dari tindakan pemaksaaan. Alih-alih memaksakan keseragaman, domakrasi justru menuntut kita untuk mengelola perbedaan yang ada. Karena perbedaan-perbedaan  itu sendirilah yang melahirkan demokrasi.

2. Tidak adanya kekuasaan politis yang bersifat mutlak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline