Lihat ke Halaman Asli

Drajad Hari Suseno

Perawakan sedang

Gonjang Ganjing Demokrat

Diperbarui: 7 Maret 2021   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang facebooker menulis status dengan pesan inti, "Pengambil-alihan kursi ketum Demokrat ugly dan kasar". Narasi itu bisa dibenarkan dalam satu sudut pandang, namun juga bisa debatable dipandang dari sudut lain. Mengapa? Karena politik adalah kepentingan, bagaimana berkuasa, maka legalitas menjadi nomor dua. Konteks ini seturut dengan premis, "Politics is the art of the impossibility", politik adalah seni dari ketidak-mungkinan. Yang "tidak mungkin" menjadi "mungkin". Segala cara seolah menjadi "sah"dilakukan. Kalau bahasa orde baru, "menghalkan segala cara".

Bung Karno turun dari kepresidenan, Pak Harto lengser dari kursi kekuasaan, Habibie diganjal Sidang Istimewa, Gus Dur diturunkan dari kursi presiden, itu semua menunjukkan peristiwa politik yang inkonstitusional atau paling tidak designed constitutionally atau didesain agar tampak konstitusional. Di level partai juga begitu. Intrik dan friksi internal partai terjadi hampir di semua partai. Yang paling kini terjadi di internal Partai Demokrat, melahirkan kubu AHY dan Moeldoko.

Kata-kata sakti "sesuai AD/ART" menjadi senjata utama untuk mengelabuhi kesadaran publik, atau justifikasi pembenaran tindakan politik dari setiap kubu yang ingin merebut maupun mempertahankan kekuasaan politik. Dalam kadar dan norma tertentu sejatinya ada ukuran universal untuk mengatak benar atau salah. Tapi sekali lagi, dalam politik itu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang salah menjadi benar dan sebaliknya.

Sedikit merunut kebelakang, secara sepintas AHY terpilih menjadi Ketum Demokrat secara aklamasi. Yakin AHY terpilih secara murni aklamasi tanpa pengkondisian? Itu satu catatan yang perlu dicurigai. Mengapa pemilihan Ketum Demokrat tidak seperti sebelum-sebelumnya? Misalnya Kongres Demokrat di Bandung, terjadi persaingan sengit antara Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, Andi Malarangeng. Bagaimana AHY melenggang mulus menjadi Ketum Demokrat mem-bypass para seniornya?

Secara kasat mata AHY naik ke tampuk kekuasaan tertinggi partai, nyaris tanpa perjuangan dan proses jatuh bangun sebagai kader. AHY bahkan belum pernah menduduki jabatan struktural partai baik dari tingkat DPC sampai DPP. Bahwa dia pernah menjadi Ketua Satgas, itu bukan jabatan struktural, tapi fungsional, ditunjuk oleh Bapaknya selaku Ketum Partai Demokrat, sifatnya adhoc alias sesaat sesuai kebutuhan saja. Sebagai Ketua Satgas, AHY juga tidak menorehkan prestasi gemilang, misalnya mampu meningkatkan kursi legislatif atau meraup advantage partai secara signifikan.  

Lalu cara AHY dalam memilih "anggota kabinetnya". Entah bagaimana mekanismenya, AHY tidak cukup akomodatif kepada para senior dan pendiri partai. Mudah ditebak, akan muncul ketidak-puasan kolektif. Faksi-faksi yang sebelumnya bersebarangan, disatukan oleh kepentingan yang sama, mendongkel kursi Ketum Demokrat. Tidak peduli lagi AHY anaknya SBY, apalagi pamor dan pengaruh SBY semakin kendur.

Kudeta partai, hampir pasti tidak bisa disembunyikan, atau diam-diam. Dibutuhkan keberanian, penggalangan, taktik dan strategi, termasuk tebal muka dan kuping, yang penting tujuan tercapai. Dibutuhkan mental dan tekad spartan, dan tentu saja modal dana besar. Pendongkelan kursi Ketum memerlukan momentum untuk "pecah telor" sehingga bola liar politik bisa menjadi bola salju isu utama di medsos dan media mainstream.

Momentum itu menemukan jalannya ketika AHY, dalam suatu konferensi pers, menyatakan ada upaya kudeta kursi Demokrat 1. Menjadi lebih panas ketika AHY berani menyinggung kekuasaan pemerintah dengan mengkait-kaitkan adanya pejabat tinggi Negara, yang seolah sedang menjalankan misi Pemerintah mendongkel AHY. 

AHY bahkan ngawur ketika urusan internal partai dibawa ke ranah Pemerintah dengan berkirim surat kepada Presiden Jokowi seolah ingin mengkonfirmasi atau investigatif apakah ada keterlibatan istana atau Presiden dalam upaya kudeta kursi Ketum Demokrat. Langkah ini tidak saja absurd, tapi lebay seperti cicak menantang buaya.

Gonjang-ganjing Partai Demokat menjadi semakin liar ketika Ketua Majelis Pertimbangan Partai, SBY yang kebetulan bapaknya AHY, mulai terbuka menyebut keterlibatan Moeldoko dalam upaya kudeta tersebut. Bagai api disiram bensin, Moeldoko yang sebelumnya cool, mulai menunjukkan taringnya, "Saya jangan ditekan-tekan, karena saya yakin bisa, sangat bisa melakukan hal-hal yang kita yakini". 

Gonjang-ganjing ini juga bisa jadi momentum bagi AHY untuk menunjukkan kepiawaiannya mengatasi masalah, mempertahankan jabatan Ketum, ujian kepemimpinan bagi AHY. Rupanya situasi tidak mereda bahkan menjadi tambah panas hingga KLB Demokrat terselenggara, dengan aroma "siapa kuat, dia yang menang" mengabaikan prasyarat dan syarat formal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline