Lihat ke Halaman Asli

Doni Bastian

TERVERIFIKASI

blog : www.donibastian.com

Jaksa Agung: Merekam Sama dengan Mencatat. Apa Iya?

Diperbarui: 9 Desember 2015   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu hal yang sangat menarik untuk dipersoalkan, yaitu mengenai kata 'Merekam' dan 'Mencatat'. Kedua kata itu pertama kali dipergunakan oleh Sudirman Said saat memberi penjelasan di muka peridangan MKD, terkait rekaman pembicaraan rahasia antara Setya Novanto (SN), Maroef Sjamsoeddin (MS) dan Reza Cholid (RC)

Sudirman Said merasa yakin bahwa apa yang dilakukan oleh MS yaitu merekam pembicaraan secara diam-diam yang dilakukan oleh MS adalah sama halnya dengan mencatat hasil pembicaraan atau yang lazim di sebut notulen. Demikian juga MS ketika dihadirkan sebagai saksi dalam sidang MKD, menyampaikan hal yang sama.

Pendapat mengenai persamaan makna dari merekam dan mencatat bahkan juga disampaikan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo. Namun demikian bila ditelusuri lebih lanjut mengenai dampak dari hasil rekaman secara diam diam maka akan sangatlah berbeda dibandingkan dengan hasil catatan atau notulen.

Tampak sama, nyata beda

Sebelumnya perlu kita pahami terlebih dahulu makna dari merekam dan mencatat. Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI) kata merekam berarti "memindahkan suara (gambar, tulisan) ke dalam pita kaset, piringan, dan sebagainya" sedangkan mencatat adalah berarti "menuliskan sesuatu untuk peringatan (dalam buku catatan)"

Memang sepintas bahwa tindakan merekam dengan mencatat suatu pembicaraan adalah hal yang sama, dalam arti tindakan yang dilakukan adalah sama, yaitu sama-sama merupakan suatu cara untuk mengingat-ingat apa yang dibicarakan. Tapi bila di pandang dari hasilnya secara meterial, yaitu bila merekam suara maka hasilnya adalah rekaman audio yang mana ini adalah sebuah informasi elektronik, sedangkan bila dilakukan dengan mencatat maka hasilnya adalah berupa lembar catatan atau surat (hitam diatas putih) 

Aspek hukum hasil rekaman audio

Sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 1 UU ITE)

Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 4 UU ITE)

maka Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Dengan demikian. hasil rekaman termasuk di dalam informasi elektronik dan file audio seperti Mp3, AVI, JPEG dll adalah dokumen elektroniknya. Hasil rekaman bisa langsung digunakan sebagai alat bukti yang sah, tanpa mempersoalkan apakah hasil rekaman itu telah disetujui oleh yang terkait dalam pembicaraan atau tidak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline