Lihat ke Halaman Asli

Unu D Bone

Belajar Sama-Sama

Pentigraf: Secangkir Kopi untuk Sunyi

Diperbarui: 21 Januari 2021   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Sudah lebih dari tiga jam Markus menjadi penghuni pasangan perabot ini: meja dan kursi. Sepasang perabot yang membisu sejak ditempati. Kadang ada derit kecil ketika ia menggeser kursi. Atau sesekali bunyi benturan kecil ketika dengkulnya tanpa sengaja beradu dengan kaki meja. Tetapi tak ada yang bisa ditangkap sebagai suara. Itu bunyi -- sesuatu yg bisa menodai keheningan - tak bisa digunakan mengisi kesunyian. Sudah cangkir kopi ketiga. Buku yang sedari tadi dilahapnya sudah habis. Tinggal matanya yang lurus menatap cangkir di depannya. Tangannya memainkan sendok, diketukkan dalam irama tertentu ke bibir cangkir, menciptakan dentingan. Markus sadar, betapa ia begitu mencintai kopi. Cinta yang tak terkatakan, tapi dijalani dengan sepenuh hati. Hidup tanpa kopi ibarat pacaran tanpa gandengan tangan. Ibarat memutuskan menikah atas landasan cinta tetapi tak pernah bercinta. Lebay? Iya. Tetapi apakah ia perlu mengadili para pecinta, termasuk barisan para pecinta kopi? Justru ini yang harus diberi predikat lebay. Tapi sudahlah, bukan urusan Markus. Urusannya adalah  bertolak ke dalam nikmatnya laut pekat yang terperangkap dalam cangkir.

Bagi Markus si pecinta kopi, menikmati setiap tegukan kopi merupakan pengalaman yang sangat mendalam. Pikiran dan perasaan seakan melebur seiring mengalirnya kopi menyentuh indra pengecap di dalam mulut, mempermainkan sensasi tak terbilang sebelum akhirnya meluncur ke lambung. Belum lagi kalau para pecinta kopi tersebut menikmati seruputan kopi dengan ekspresi tertentu: mata dipejamkan, helaan napas yang dalam, wajah ditengadahkan ke atas seakan menghitung setiap kunang-kunang imajiner yang beterbangan di sekitar kepala. Luar biasa.

Ada hal lain yang diyakini Markus. Memaknai kopi tidak hanya semurah itu. Penikmat kopi sejati tak berhenti pada kenikmatan pribadi. Mereka tidak sedang beronani. Kenapa? Karena kenikmatan kopi sesungguhnya terletak pada siapa dan apa yang ada di sekeliling cangkir. Kopi menunjuk pada sebuah lingkaran, tentang orang-orang yang duduk bersama dan berbagi cerita. Kopi, sekalipun hitam, selalu putih di antara para pecinta kopi. Dan malam ini, di antara para tamu kafe, Markus masih sendirian.

Jombor Lor, 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline