Lihat ke Halaman Asli

Sembodo Nugroho

Master of Animal Science

Kapitalisasi di Desa, Salah Siapa?

Diperbarui: 2 Juni 2020   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang Warga desa sedang mengayuh sepedanya (dokpri)

Desa adalah tempat tinggal kita semua, sekitar 66.048 desa yang terdata (BPS:2018) tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Hal tersebut tentunya menggambarkan bahwa Indonesia terdiri atas banyak pedesaan. 

Ironisnya desa sering kali diabaikan dalam pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Padahal dari desalah seharusnya kita membangun kemajuan Indonesia. Mungkin berbagai kebijakan untuk membangun desa telah disusun dan dilaksanakan, namun hasilnya masih jauh dari harapan.

Saya akan bercerita sedikit tentang keadaan masyarakat desa dewasa ini, dalam berbagai media elektronik desa selalu digambarkan dengan nuansa yang damai, sejuk, tenang dan alami. 

Memang betul adanya, kebanyakan desa demikian sehingga banyak menarik perhatian para pemodal masuk ke desa. Bagai gula di atas meja yang menjadi intaian banyak semut, itulah gambaran desa saat ini, menjadi primadona bagi para pemodal besar yang menginginkan keuntungan melimpah dengan investasi yang murah. 

Dan ironinya penduduk desa pun menyambutnya dengan suka cita, meski lahan, pencaharian dan ketahanan pangan telah terancam di depan matanya. Harapannya begitu sederhana, tidak sekompleks pemikiran para pemodal besar yang telah datang di depannya.

Kenapa orang desa pada suka cita menyambutnya ?

Pertama, Lahan mereka dibeli di atas harga rata-rata yang tertera pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atas kepemilikan tanah, karena sebagian besar warga di desa masih sedikit yang mempunyai sertifikat hak Milik (SHM) atas tanah mereka. 

Meskipun harga yang ditawarkan di atas Nilai jual Objek Pajak (NJOP) namun kalau dirata-rata secara harga pasaran masih cenderung sangat murah. Belum lagi makelar tanah yang menjadi pembujuk pembebasan lahan di desa (biasanya oleh aparat pemerintahan setempat, baik camat, kades, maupun perangkat desa) yang tak segan untuk memotong harga dari yang seharusnya diberikan oleh pemodal besar. 

Jarang sekali diadakan audiensi dengan warga sebelum pembebasan lahan, biasanya warga langsung ditodong untuk menjual lahannya oleh oknum perangkat desa setempat, alih-alih menjadi pelindung bagi warganya malah menjadikan bahan baru untuk meraup pundi - pundi rupiah tanpa belas kasih, meskipun yang dibujuknya hanya memiliki sedikit pertak tanah sebagai gantungan hidupnya di usia yang senja. 

Dalam penentuan objek tanah yang akan dibeli oleh pemodal biasanya harus memenuhi kriteria yang digunakan olehnya baik secara lokasi, akses jalan, kontur tanah, sumber air, luas lahan dan kemudahan dalam pembebasan.

Kedua, warga desa yang secara suka rela menjual tanahnya kepada perangkat desa setempat. Adapun alasan warga desa menjual tanahnya dengan sukarela karena beberapa faktor. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline