Lihat ke Halaman Asli

Doharman Sitopu

Manajemen dan Motivasi

Merdeka Bangsaku, Merdeka Kaki dan Perutku

Diperbarui: 17 Agustus 2021   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagiku merdeka adalah bebas dari penderitaan, bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, bebas dari tekanan, bebas dari kesedihan, bebas dari penjajah, bebas melakukan apapun yang kita mau, bebas dari intimidasi, bebas mereguk pengetahuan setinggi langit, bebas pergi kemana saja. Tapi satu hal yang paling saya suka adalah bebas makan apa saja yang kita mau. 

Agar pengertian merdeka ini mudah dipahami baiklah kita sederhanakan melalui jargon "bebas pergi kemana pun, dan makan apa pun". Ya, ini cukup mudah menyatakan kemerdekaan itu dalam bahasa yang mudah dimengerti siapa pun.

Yang pertama, bebas pergi kemana pun. Sepintas kondisi kebebasan yang satu ini (baca : kemerdekaan) memang kelihatannya mudah. Namun bila kita telaah dengan cermat tidak sesederhana kata yang terdiri dari 5 (lima) huruf ini. Pergi. Bagaimana anda pergi kemana pun bila tidak memiliki biaya untuk itu? Bagaimana anda melakukannya tanpa sarana transportasi yang memadai? Lantas?

Tahun 2014 saya beserta keluarga melakukan trip darat ke kampung asal di Sumatera Utara sana (Entah mengapa orang selalu menyebut saya orang Medan...he, he. Padahal kami di kampung, lho). Tujuan saya adalah bersilaturahmi kepada kedua orang tua yang pada saat itu masih hidup. 

Momen seperti ini saya manfaatkan pula untuk mempererat hubungan kedua orang tua saya dengan 3 (tiga) cucunya. Perlu dicatat bahwa perjalanan ke SUMUT haruslah melewati beberapa propinsi, antara lain Privinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan kemudian Sumatera Utara. Kalau tidak salah sekitar 2.222 Km hingga tiba di rumah orang tua.

Apa kisah yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini adalah kondisi jalan yang kami lalui saat itu. Untuk menembus Propinsi Lampung saja kami butuh waktu satu harian untuk kemudian bisa tiba di Sumatera Selatan. Kami tiba di kota Empek-empek itu malam hari. Pada hal kami berangkat dari kediaman di bilangan Gunung Putri Kabupaten Bogor sana pagi hari.  

Oleh karena itu, kami harus menginap dulu di Palembang untuk kemudian pagi harinya kembali tancap gas menuju Privinsi Jambi. Ruas itu saja yang ingin saya ceritakan kali ini. Semoga dalam tulisan berikut bisa saya ulas untuk berbagai perspektif.

Tahun 2020 saya selaku pembelajar enterpreneur memberanikan diri mengikuti sebuah lelang di Tanjung Enim Sumatera Selatan. Puji Tuhan kami dapat memenangkan lelang tersebut, sehingga saat pelaksanaan harus bolak balik Jakarta-Tajung Enim berkali- kali. Kadang pergi menggunakan moda transportasi Udara, kadang melalui perjalanan darat. 

Tapi agar di lokasi lebih leluasa bepergian ke mana saja, akhirnya saya putuskan untuk menggunakan moda transportasi darat, saya nyetir sendiri dari Jakarta ke Tanjung Enim. 

Apa yang bisa saya catat dalam rentang enam tahun itu adalah bahwa ketika saya melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Palembang sangatlah berbeda antara 2014 dengan 2020.  Jika dahulu perjalanan dari Bakau Heuni ke Palembang menghabiskan waktu sekitar 12 Jam, kini bisa ditempuh hanya dalam waktu 4 Jam melalui jalan Tol. 

Bisa lebih cepat 8 Jam dibandingkan lewat jalan arteri biasa. Coba anda bayangkan Jarak 333 Km antara Bakau Hueni - Palembang bisa kita libas dalam waktu 3 s/d 4 Jam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline