Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Indonesia Tidak Pernah Dijajah, yang Dijajah adalah Kerajaan-kerajaan

Diperbarui: 28 Februari 2019   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kiri Muhammad Anshor, Daulat Pane, dan Bonnie Triyana (Dokpri)

Ada empat ciri negara berdaulat, yakni memiliki wilayah, memiliki rakyat, memiliki pemerintahan, dan memperoleh pengakuan dari negara berdaulat lain. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, banyak negara memberi pengakuan kepada Indonesia, seperti Vatikan (1947), Mesir (1948), Arab Saudi (1948), Suriah (1949), dan Turki (1949). Begitu awal pembicaraan Muhammad Anshor, Dirjen Amerika dan Eropa pada Kementerian Luar Negeri. Beliau menjadi pembicara awal dalam diskusi bertema "70 tahun Pengakuan Kedaulatan Indonesia", yang diselenggarakan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada Kamis, 28 Februari 2019.

"Saya bukan sejarawan, tapi mengingat tema yang menarik maka ada panggilan hati untuk menjadi narasumber dalam diskusi ini," kata Pak Anshor. Diskusi dibuka oleh Kepala Museum Perumusan Naskah Proklamasi Pak Agus Nugroho.

Pembukaan kegiatan oleh Pak Agus Nugroho (Dokpri)

Perjuangan diplomasi

Menurut Pak Anshor bukan hanya aktivitas militer yang penting untuk menjadi negara merdeka yang diakui internasional. "Bukan pekik heroik dan angkat senjata, tapi perjuangan diplomasi ikut berperan," kata Pak Anshor.  

Pak Anshor memberi contoh negara Kosovo yang merdeka pada 2008. Negara ini belum mendapat pengakuan dari banyak negara, dengan demikian belum menjadi negara dan menjadi anggota PBB. Banyak negara tercatat menolak kemerdekaan Kosovo.

Contoh lain diberikan oleh Pak Anshor, yakni pengakuan sebagai negara kepulauan yang dimulai dari Deklarasi Juanda 1957. Karena adanya pengakuan internasional maka luas wilayah Indonesia menjadi beberapa kali lipat.

Sehabis paparan, Pak Daulat Pane, moderator acara, mempersilakan peserta untuk bertanya. Dari pertanyaan terungkap pemerintah Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Disinggung pula tentang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Konferensi itu berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Para veteran Belanda memang sulit menerima 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan Indonesia. Masalahnya, setelah Indonesia merdeka, Belanda melakukan agresi militer 1 pada 1947 dan agresi militer 2 pada 1948.  Baru kemudian pada 27 Desember 1949 kedua pihak menandatangani penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia secara resmi. Masalahnya kemudian, pada 17 Agustus 1950 berdiri kembali NKRI, bukan RIS. Buat apa pengakuan kepada negara yang sudah bubar, komentar seorang penanya.

Para peserta diskusi, antara lain guru, komunitas, dan pemerhati sejarah (Dokpri)

Banyak tafsir

Menurut sejarawan Bonnie Triyana yang bicara kemudian, memperlakukan KMB sebagai realita historis mempunyai banyak tafsir. Yang jelas, pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai pernyataan politik, tidak bisa dibantah. Pernyataan kemerdekaan berawal dari kekalahan Belanda kepada Jepang pada 1942. Selanjutnya kekalahan Jepang dari Sekutu pada 1945. Nah, siapa yang berdaulat atas Hindia-Belanda setelah Perang Dunia 2 selesai memiliki dua versi, yakni versi Indonesia dan versi Belanda.

Menyinggung soal KMB, ada anggapan utang Indonesia sebesar enam milyar gulden, namun Belanda hanya mau menanggung 500 juta gulden. Hal ini bertahun-tahun menjadi perdebatan kedua pihak. Utang itu terbayar lunas pada 2003.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline