Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Menyantap Pupu, Kapurung, dan Keumamah di Acara Warisan Budaya

Diperbarui: 11 Oktober 2018   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pementasan kesenian (Foto: Prita W.)

Sore itu, 10 Oktober 2018, begitu usai registrasi, saya dipersilakan mencicipi makanan ringan yang ada di halaman Gedung Kesenian Jakarta. Maklum, seperti tahun-tahun lalu, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengadakan hajatan besar berupa Apresiasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Saya coba cicipi Pupu, penganan dari Sulawesi Barat.

Pupu terbuat dari campuran  ikan, kelapa, dan bumbu. Bentuknya segitiga. Rasanya cukup gurih dan lezat, bahkan ada sedikit pedas. Setelah itu, saya coba kunyit asam dan sereh. Yang ini berupa minuman. Yah, lumayan, anggap saja jamu.

Kapurung merupakan sasaran selanjutnya. Makanan ini berasal dari Sulawesi Selatan. Terbuat dari bahan baku sagu yang disiram dengan air panas. Kapurung disajikan dengan sayuran berkuah dan ikan.  

Di sela-sela menyantap, saya pun melihat-lihat panel pameran di dekat tempat registrasi. Ada foto dan uraian tentang obyek-obyek yang terpilih, tentu saja dari 30 provinsi.

Kuliner Pupu dari Sulawesi Barat (Dokpri)

Semua makanan di halaman berkategori ringan. Menyantapnya cukup nikmat karena ditemani hiburan berupa kesenian tradisional. Nah, setelah dipersilakan naik, barulah bertemu makanan berat. Saya mencicipi sate maranggi dari Purwakarta. "Ini daging sapi," kata penjaganya. Saya mengambil tiga tusuk saja. Bumbunya berupa kecap bercampur tomat dan cabai.

Berikutnya saya cicipi pindang patin dari Palembang. Masakan ini berkuah, merupakan campuran serai, kunyit, lengkuas, cabai, dan asam kandis. Woi lumayan, ada asam, pedas, dan hangat.

Tidak ketinggalan saya cicipi masakan tradisional Aceh, keumamah. Asalnya dari ikan tongkol atau cakalang. Biasanya keumamah dihidangkan pada pesta adat. Sebenarnya masih ada lagi beberapa kuliner tradisional. Namun apa mau dikata, daya tampung perut sudah tidak muat.

Panel pameran (Dokpri)

Penetapan

Itulah kegiatan yang mengawali acara inti berupa Apresiasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018. Tahun ini terdapat 225 karya budaya yang ditetapkan. Karya budaya itu dibagi menjadi lima kategori, yakni:

  • tradisi dan ekspresi lisan
  • seni pertunjukan
  • adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan
  • pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, dan
  • kemahiran kerajinan tradisional.

Seperti halnya di halaman luar, di dalam gedung pun diisi dengan pementasan kesenian tradisional dari berbagai daerah.  Ada 30 provinsi terwakili dalam penetapan itu. Entah, apakah tidak ada kebudayaan lokal di provinsi yang tidak berpartisipasi. Obyek setiap provinsi pun beragam. Ada yang cuma satu sampai tiga, namun ada juga yang lebih dari sepuluh. Jelas, kebudayaan yang tersisa amat beragam. Ada yang masih terlestarikan, pasti ada yang sudah punah.

Para penerima sertifikat (Foto: Ditjenbud)

Penetapan warisan budaya tentu saja merupakan kebanggaan bagi setiap daerah. Beberapa kepala daerah hadir dalam acara itu. Sebagian besar diwakili kepala dinas. Sertifikat diberikan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline