Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Undang-Undang "Paradara" Masa Jawa Kuna Melindungi Kaum Perempuan

Diperbarui: 27 April 2018   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seni pertunjukan jalanan oleh laki-laki dan perempuan (Foto: Titi Surti Nastiti)

Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) kembali menggelar diskusi bulanan di Perpustakaan Nasional. Kali ini pematerinya Titi Surti Nastiti, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang memiliki spesialisasi epigrafi. Dalam diskusi bulan itu, Kamis, 26 April 2018, Titi membawakah topik "Peranan Gender pada Masa Jawa Kuna".

Filologi dan epigrafi memang mirip. Kajiannya sama-sama aksara kuno. Yang membedakan hanyalah media yang digunakan untuk menulis. Filolog mengkaji aksara kuno pada kertas atau rontal. Sementara epigraf mengkaji aksara kuno pada bahan-bahan yang keras, seperti batu dan logam.

Melayu dan Sansekerta

Dalam uraiannya Titi mengatakan perempuan dan laki-laki berasal dari Bahasa Melayu. Perempuan dari akar kata empu atau empuan, dengan imbuhan pe atau pe-an, berarti perempuan atau istri raja. Sedangkan laki-laki berasal dari kata dasar laki dan kadang-kadang diberi awalan le.

Menurut Titi selanjutnya kata wanita dan pria berasal dari Bahasa Sansekerta. Wanita berasal dari kata vanita dengan akar kata van yang berarti yang tercinta, istri, perempuan, anak gadis. Pria berasal dari kata priya yang berarti yang tercinta, kekasih, yang disukai, yang diinginkan.

Berdasarkan kajian terhadap prasasti, relief candi, dan arca, Titi mengungkapkan peranan gender di dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna di bidang politik, ekonomi,  hukum, agama, dan kesenian.

Menangkap ikan oleh kaum laki-laki (Foto: Titi Surti Nastiti)

Kesetaraan gender

Dalam bidang politik dikenal adanya kesetaraan gender mulai dari jabatan yang paling tinggi di kerajaan sampai kepada jabatan di desa. Jabatan-jabatan tersebut didapat secara keturunan ataupun prestasi, yakni raja dan ratu, putra mahkota dan putri mahkota, rakai (penguasa wilayah), pejabat hukum, pejabat keagamaan, dan pejabat desa.

Dalam bidang sosial, kata Titi, kaum perempuan pada masa Jawa Kuna sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, baik sebagai pendamping suami maupun sebagai diri sendiri. Begitu pula dalam bidang ekonomi. Banyak perempuan membantu perekonomian keluarga dengan membantu suami menggarap sawah atau ladang. Di sela-sela kesibukan itu, mereka membuat barang-barang kerajinan seperti kain, anyaman, dan lain-lain.

Peserta diskusi di Perpustakaan Nasional (Dokpri)

Pemutus perkara

Pada masa Jawa Kuna, tidak banyak data tekstual yang menuliskan tentang masalah hukum. Satu-satunya prasasti yang isinya berkaitan dengan perempuan yang mempunyai kaitan dengan hukum adalah Prasasti Guntur (907 M) dari masa Matarm Kuna. Prasasti itu menyebutkan adanya perempuan yang menjadi saksi (tatra saksi) dan dan pemutus suatu perkara (pinariccheda gunadosa)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline