Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Blusukan dan Kulineran ala Arkeologi

Diperbarui: 2 November 2016   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersulang tanda persahabatan abadi (Dokpri)

Minggu pagi, 30 Oktober 2016 ketika membuka WA seorang rekan satu angkatan, Candrian, menulis, “Dju dan Bert hari ini saya tunggu di taman fatahillah jam 10. Si Ajung mau gabung.” Masih di WA, seorang adik kelas juga menulis, “Eh...kita pada janjian di Kota Tua ni ari...ama Candrian juga...Yuuks jam 10...”. 

Pukul 09.00 saya pun berangkat ke sana. Namun sayang rekan Berty, sesama Kompasianer, tidak bisa ke sana. “Gak ikutan dulu,” katanya dalam pesan WA. Biasanya Berty, Candrian, dan saya memang selalu blusukan dan kulineran bersama. Berpindah-pindah tempat dan berganti-ganti menu. Kadang di kawasan Pancoran, kadang di Tamansari, bahkan pernah di Ragusa. Kami bertiga satu angkatan, sama-sama lulusan Jurusan Arkeologi UI.

Berty lama sebagai jurnalis di Sinar Harapan yang kemudian berubah menjadi Suara Pembaruan. Setelah pensiun, ia menulis di beberapa media. Sejak beberapa tahun lalu, ia aktif menulis di blog publik Kompasiana.

Blusukan di sekitar Pancoran (Dokpri)

Candrian seorang pensiunan. Ia pernah menjabat Kepala UPT Kota Tua Jakarta dan Kepala Balai Konservasi Cagar Budaya, instansi milik Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Saya sendiri hanya penulis lepas, sering menulis di berbagai media cetak. Saya juga punya blog pribadi tentang arkeologi dan museum. Baru Agustus lalu saya bergabung dengan Kompasiana.

Perjalanan dimulai dari Kedai Pos di Taman Fatahillah. Sesampainya di sana, selain Candrian, sudah menunggu Erry dan Oya. Keduanya adalah adik kelas saya yang kece. Erry pejabat di Kemdikbud, sementara Oya wiraswasta yang sekarang tinggal di Yogya. Kami cuma minum ringan.

Blusukan dan kulineran memang itulah tujuan kami. Kami berjalan menuju Pancoran. Candrian yang lama bersentuhan dengan kawasan kota tua menjadi pemandu. Tempat pertama yang kami singgahi adalah Kopi Es Tak Kie.

Lontong capgomeh (Dokpri)

Kedai ini dikenal sejak lama. Lokasinya di Gang Gloria. Maklum dekat situ pernah ada pertokoan Gloria. Sayang pada 2009 pertokoan ini terbakar. Hanya namanya masih lekat. Sebenarnya alamat pastinya adalah Jalan Pintu Besar Selatan III No. 4-6, Pancoran, Glodok. Namun karena dianggap kelewat panjang, nama Gang Gloria lebih dikenal.

Kedai buka pukul 07.00 sampai 14.00. Mungkin karena Hari Minggu, sekitar pukul 11.00 kedai sudah tutup. Kami berempat sempat makan lontong capgomeh dan segelas teh hangat. Kopinya, yang katanya melegenda, ternyata sudah habis.

Usai dari sini kami berjalan lagi. Rujak Shanghai tujuan berikutnya. Keluar dari Tak Kie bertambah lagi satu orang, Ajung. Kalau saya dan Candrian angkatan 79, sementara Erry dan Oya angkatan 84, Ajung adalah angkatan 86. Angkatannya paling kecil, tapi badannya paling gede.

Tim arkeologi di rumah makan Lao Hoe (Dokpri)

Di Pancoran yang paling dikenal adalah rujak Shanghai Encim. Namanya memang mengacu pada kota di Tiongkok. Namun kuliner ini asli Jakarta. Kabarnya, pencipta kuliner pernah berjualan di depan bioskop Shanghai. Entah di mana lokasi bioskop ini karena sudah tak ada sisa-sisanya sejak lama. Rujak Shanghai Encim bukan berupa kedai atau resto tersendiri, ya semacam lapak dalam sebuah ruangan. Di situ ada juga rujak juhi, mie kangkung, ayam goreng, dan beberapa jenis kuliner lagi.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline