Lihat ke Halaman Asli

Dion Ginanto

Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

PPPK, Menyoal Kesejahteraan Guru Honorer

Diperbarui: 2 Februari 2019   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan bincang-bincang santai dengan guru honorer yang saya temui di beberapa tempat di Jambi. Dari hasil obrolan itu, ada beberapa guru yang curhat bahwa gaji mereka masih jauh di bawah upah minimum regional. Tak kalah dengan Presiden, saya yang baru saja pulang dari 6 tahun pendidikan dan belum sempat bergelut dengan pendidikan di tanah air sangat kaget dan heran.

Seperti yang diberitakan beberapa media belum lama ini, Presiden sampai terheran-heran ternyata di Indonesia masih ada guru yang bergaji di bawah Rp. 500.000 per/bulan.

Untuk menguji kebenaran informasi ini, saya memposting pertanyaan di beranda Facebook pribadi saya, dan ternyata benar, masih banyak sekali tenaga pendidik di negeri ini yang masih tidak seberuntung kolega mereka yang sudah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegeawai Negeri Sipil (PNS).

Akan sangat jomplang sekali jika harus membandingkan guru PNS versus guru Honorer, bahkan akan sangat, sangat jomplang jika dibandingkan antara guru PNS sertifikasi versus guru Honorer Sekolah. Sebagai perbadingan saja, guru PNS sertifikasi dapat mengantongi gaji kurang lebih tujuh juta perbulan di luar Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP).

Sedangkan guru honorer SD, hanya mendapat gaji satu juta rupiah yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Artinya, guru honorer SD hanya bergaji Rp. 300 ribuan perbulan. Bahkan masih ada juga yang bergaji Rp. 200.000/bulan. Padahal beban mengajar dan beban pekerjaan mereka adalah sama.

Padahal, di Jakarta para aktivis pendidikan terus menerus mengkampanyekan tagar "#AyoJadiGuru". Para pakar dan pengamat pun terus memberikan wasiat agar para guru mampu menanamkan cita-cita menjadi guru pada peserta didiknya. Mereka berdalih di Finlandia, Singapura, Korea Selatan, dan beberapa negara-negara maju pendidikannya adalah mereka yang para generasi mudanya berebut untuk masuk di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendikan.

Input bagus, output bagus, gajinya pun bagus. Tapi di negara kita guru yang nyata-nyata bergelar Sarjana bergaji lebih rendah dibanding pekerja yang berijazah Sekolah Menengah.

Lalu bagaimana mereka yang telah terlanjur mengkampanyekan gerakan #AyoJadiGuru? Atau bagaiamana kami para guru yang terus menerus menamkan virus guru pada anak didik, toh setelah menjadi guru (honorer) gaji mereka tak lebih dari lima ratus ribu? Apakah ini adil? Bukankah ini bentuk praktik diskriminasi NYATA antara guru PNS versus guru honorer?

Lalu di mana peran pemerintah dalam menjamin kesejahteraan para pendidik? Bukankah Undang-undang Guru dan Dosen pasal 14 ayat 1 meyatakan bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum dan kesejahteraan sosial. Namun, nampaknya, pemerintah baik pusat maupun daerah belum hadir dalam melaksanakan amanat Undang-undang untuk guru honorer.

Angin segar sempat terhembus dari pemerintah pusat, di mana saat itu Bapak Presiden sempat heran dengan gaji guru honorer. Berarti pucuk pimpinan pengayom guru telah mendengar keluh kesah pahlawan yang sangat berjasa ini. Dengan demikian, kemungkinan besar pemerintah akan segera memberikan upaya nyata agar tidak terjadi lagi gap antara guru abdi negara dengan guru kontrak negara.

Bukan hanya itu, kabar baik muncul dari program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Pemerintah pusat telah mengeluarkan peraturan yang intinya guru PPPK akan mempunyai gaji yang setara dengan rekan-rekannya di PNS, hanya saja mereka tidak menerima pensiun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline