Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

TERVERIFIKASI

Akuntan yang Penulis

Jejak Penjajah dalam Secangkir Kopi

Diperbarui: 16 Mei 2025   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawa Daun atau Kopi Daun. (Foto: Dokumen Pribadi)

Jejak Penjajah dalam Secangkir Kopi

Oleh Dikdik Sadikin

AHAD siang, 11 Mei 2025. Di pelataran Balai Kota Bukittinggi, sekitar dua ratus peserta International Minangkabau Literacy Festival ke-3 dari 24 negara berkumpul. Di sela rehat makan siang, panitia menyajikan aneka kuliner khas Minangkabau. Tapi ada satu yang tak biasa: Kawa Daun. Ia diseduh dari daun, bukan biji kopi. Dan Kawa daun, atau kopi daun, dari daerah Minangkabau ini punya kisah, bukan sekadar rasa.

"Ini warisan masa penjajahan," ujar Leksi Hedrifa, Kepala UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, sembari tersenyum. Sebuah senyum yang menyimpan getir. Sebab seduhan kopi ini berawal dari penderitaan rakyat Indonesia yang dijajah di masa kolonial, sebelum kemerdekaan 1945. 

Kopi dalam bentuk biji adalah barang rampasan penjajah. Diangkut ke kapal, ke Eropa, ke cangkir-cangkir tuan tanah. Tak ada biji-biji kopi yang tersisa bagi rakyat pemilik asli kedaulatan tanah tempat "mutiara hitam" itu tumbuh subur. Rakyat hanya bisa menatap kebun yang ditanam dengan tangannya sendiri, tapi tak bisa mencicipi buah bijinya.

Maka daun pun diseduh. Dari yang tersisa, mereka meracik rasa. Seakan berkata: jika tak dapat tubuhnya, kami rebus bayangannya.

Sejarah, memang, kerap lahir dari keterbatasan. Selain kopi daun, sejarah yang mirip pun melahirkan Kopi Luwak. 

Luwak, seekor binatang kecil yang tak pernah dijajah dan tak pernah menjajah, justru menjadi jembatan: ia memakan buah kopi dan dari kotorannya ada biji-biji kopi yang tersembunyi. Dari kotoran binatang itulah rakyat mengais keberuntungan. Membersihkan biji-biji kopi dari kotoran luwak, mengeringkannya, lalu menyeduhnya. Dan dunia kini mengenal Kopi Luwak sebagai kopi termahal di dunia. Bahkan binatang luwak sengaja diternak untuk proses menghasilkan biji-biji kopi itu.

Ironi kerap berbicara lebih nyaring dari pidato. Dari daun kopi dan dari kotoran yang tersisa, lahir warisan. Dari keterampasan, tumbuh kekayaan. Luwak yang tak pernah ikut rapat revolusi, justru ikut menyumbang catatan sejarah kopi. Maka, tak semua ingatan harus manis untuk bisa dikenang. Warisan dari masa pahit penjajahan, seperti kopi tanpa gula, justru indah pada akhirnya.

Kopi-kopi itu adalah pengingat bahwa dalam setiap tegukan Kawa Daun atau pun Kopi Luwak, tersimpan jejak perlawanan yang harum. Dan dua-duanya kini bisa Anda nikmati, tentu saja, tanpa harus dijajah terlebih dahulu.

Bogor, 16 Mei 2025

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline