Ilustrasi ular sanca berkepala mahkota penunggu pohon randu sumber dokpri
Ular Sanca Penunggu Pohon Randu (Bagian 7)
Bila dalam cerita ini adalah kesamaan nama, kejadian dan tempat itu hanya kebetulan belaka. Cerita ini terinspirasi dari cerita cerita warga RW 03 Kelurahan Jatinegara Kaum Kecamatan Pulau gadung Jakarta Timur.
Suara desis semakin keras, seperti ribuan ular melata sekaligus. Tanah bergetar, dedaunan berjatuhan, dan udara malam berubah dingin menusuk tulang.
Kyai Hasan berdiri dengan susah payah, tongkatnya bergetar di tangan. Wajahnya pucat, namun sorot matanya penuh tekad.
"Perjanjian leluhur harus ditebus. Kalau tidak, kita semua akan binasa di sini."
Bang Mus mendekat, menahan lengan Kyai Hasan.
"Dengan apa, Kyai? Apa yang mereka minta?"
Kyai Hasan menunduk, suaranya lirih tapi jelas.
"Darah... darah manusia. Leluhur dulu hanya memberi kambing, tapi karena kita melanggar janji, tebusannya kini harus lebih besar."
Warga terperangah. Jerit ketakutan terdengar. Ada yang langsung menolak, ada pula yang hanya bisa menangis.
Ular raksasa itu maju selangkah, tubuhnya melingkar mengitari pohon keramat. Wajah setengah manusianya menatap tajam ke arah warga.
"Pilih salah satu di antara kalian... atau kami akan mengambil semuanya."
Malam itu seolah berhenti berputar. Semua orang terdiam, jantung berdetak kencang.
Mbak Rasti jatuh tersungkur, menangis histeris. Kodil berusaha menenangkan warga, namun dirinya pun gemetar hebat.