Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Pasukan Semut, Cerita tentang Trio Penyelundup Gula

Diperbarui: 1 November 2022   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rizal terpaksa jadi penyelundup gula demi biaya pengobatan ibunya (sumber gambar: Jakarta Film Week) 

Masih ada cerita tentang penyelundupan barang. Pelakunya main kucing-kucingan dengan petugas yang berjaga di perbatasan. Jika ketahuan, maka hukuman penjara akan menanti mereka. Kisah penyelundup gula ini disajikan dalam film pendek peraih nominasi Festival Film Indonesia 2022. Pasukan Semut, judulnya.

Aku menyaksikan film pendek yang memiliki judul internasional  Sweet Squad ini di gelaran Jakarta Film Week 2022. Film ini juga bisa disimak di platform streaming Vidio selain juga ditayangkan secara luring.

Cerita berfokus pada trio penyelundup gula. Dua dewasa dan satu remaja. Mereka masing-masing punya alasan bersedia melakukannya. Alasan yang sama tentunya honor yang besar meski risikonya juga tak kalah besarnya.

Mereka selama ini berhasil main kucing-kucingan dengan petugas. Tapi apakah  'semut' bisa selamanya menghindar dari petugas yang jumlahnya lebih banyak?

Trio ini harus kucing-kucingan dengan petugas perbatasan (sumber gambar: Jakarta Film Week) 


Lewat film pendek yang diproduksi Gertak Film, rumah produksi asal Pontianak, ini penonton diajak menyelami kondisi masyarakat Kalimantan yang tinggal di perbatasan Malaysia dan Indonesia. Tak sedikit warga yang kurang mampu, sehingga mereka nekat untuk melakukan pekerjaan ilegal yang sangat berisiko.

Dalam salah satu adegan, salah satu tokoh, Rizal, mengeluhkan ibunya yang harus dibawa ke Kuching karena tak ada tempat pengobatan yang bisa merawat penyakit ibunya di desanya. Di adegan lainnya nampak begitu rimbun dan luasnya perkebunan sawit, menggantikan hutan-hutan di Kalimantan. Pilihan mata uang saat bertransaksi juga ditampilkan di sini, mereka bisa memilih menggunakan mata uang rupiah atau ringgit di daerah perbatasan. Penggunaan bahasa Melayu khas Malaysia juga umum.

Film besutan Haris Supiandi ini berhasil memainkan emosi penonton. Ia mencoba  menunjukkan realita kecil yang dijumpainya di sekitarnya. Ceritanya realistis dan alurnya dibiarkan bergulir apa adanya.

Gambar-gambarnya juga apa adanya, tak didramatisasi. Haris sepertinya lebih ingin menguatkan pesan lewat dialog dan akting pemainnya.

Lewat gambar-gambar yang apa adanya, Haris ingin menunjukkan gambaran kecil warga perbatasan di Kalimantan (sumber gambar: Jakarta Film Week) 


Memang tak semua di dunia ini hitam putih. Tak sedikit orang-orang nekat melakukan tindak ilegal karena dalam posisi terdesak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline