Lihat ke Halaman Asli

Menemukan Indonesia (Resensi Buku)

Diperbarui: 8 Juli 2016   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Ini adalah kali pertamanya saya meresensi sebuah buku. Hal tersebut sungguh sangat tidak terencana dan muncul begitu saja tatkala saya sedang di sebuah toko buku dan menemukan buku mengenai cara membuat resensi. Sontak saya sangat tertarik karena saat ini adalah liburan dan saya memiliki waktu yang cukup untuk mecoba sesuatu hal baru yaitu membuat resensi buku (tentu film dan musik, dan seni pertunjukan lainnya juga bisa masuk di dalamnya). Saya memasukkan buku tersebut ke dalam keranjang belanjaan saya namun saya akhirnya mengeluarkan lagi dengan alasan saya akan mencoba menulis secara naturalis, sesuai dengan rasa dan gaya bercerita saya se alami mungkin. Saya akan melihat seperti apa hasilnya kelak.

And this is it:

Buku yang menjadi target review pertama adalah MENEMUKAN INDONESIA.

Buku ini ditulis oleh Panji Pragiwaksono. Kalau anda kurang familiar dengan nama tersebut, bisa dengan mudahnya di search melalui google atau mesin pencari lainnya dan dengan mudahnya pula pertanyaan anda akan terjawab, siapakah si Panji ini.

Honestly, saya membeli buku ini bukan karena penulisnya yang sudah cukup populer, bukan pula karena photonya Panji yang di pajang di tengah-tengah sampul dengan ukuran yang cukup besar yang seketika mengingatkan kita pada iklan Blueband (anda yang lahir di era 90an pasti paham maksud saya), dan bukan juga karena buku ini sedang di sale karena memang tidak ada diskon. Namun satu alasan pasti mengapa tangan saya tergerak untuk memasukkan buku ini ke keranjang adalah tulisan di belakang sampul buku ini sendiri, begini kira-kira, “ Selama ini, saya selalu berkata bahwa saya mencintai Indonesia. Tak pernah ada sedikit pun keraguan. Hingga kemudian, saya memutuskan untuk menantang rasa cinta terhadap negara ini dengan membuat perbandingan - perbandingan. Saya harus melakukan perjalanan keliling dunia dan melihat dengan mata kepala sendiri, seperti apa situasi di luar sana.” Saya kira apa yang menjadi alasan penulis untuk melakukan perjalanan ini sangatlah masuk diakal, bagaimana bisa kita mencintai sesuatu tanpa kita tahu bahwa apa yang kita cintai adalah sesuatu hal yang terbaik? tentu untuk bisa tahu kita harus melakukan sebuah atau beberapa buah perbandingan. Itulah yang penulis kerjakan demi menjawab pertanyaan tersebut.

Buku ini me-klaim ditulis berdasarkan perjalanan yang dilakukan di 4 benua, 8 negara, 20 kota dan selama 365 hari. Eits, tunggu dulu, karena sebenarnya saya tidak yakin bahwa perjalanan ini dilakukan selama 365 hari persis. Karena bila anda baca maka perjalanan ini tidak secara utuh dilakukan dalam 1 tahun, maksud saya terkadang dari 1 perjalanan ke perjalanan yang lainnya, penulis dan rombongan pulang ke Indonesia dan kembali lagi melanjutkan perjalanannya. Dan apakah benar 365 hari? saya tidak menemukan informasi secara jelas jumlah hari dari perjalanan tersebut, bisa jadi ini hanyalah agar buku tersebut nampak sangat apik dan sempurna. 

Buku ini ditulis secara ringan dengan gaya khas Panji (kalau pernah menonton Panji sedang membawakan acara atau sedang stand up comedy, anda pasti paham maksud saya). Lucu namun cerdas bahkan kadang keras dalam menyampaikan opini. 

Pada bagian awal, Panji mencoba memperkenalkan tim dalam perjalanan tersebut, baik keluarga maupun tim rombongan stand up comedy lengkap dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Setelah itu penulis juga menginformasikan perlengkapan apa saja yang disiapkan sebelum perjalanan panjang ini dimulai.  Dan selanjutnya Panji membuat catatan-catatan dari pengalaman-pengalamnya di masing-masing kota yang disinggahi tentu dari sudut pandang penulis seperti London, Amsterdam,  Singapura, Hongkong, Berlin, Beijing dll.

Ada satu hal yang sangat menarik dari cerita Panji ketika mengunjungi Beijing. “Kalau ditanya seperti apa orang Beijing atau Tingkok secara umum, saya akan menggambarkan sekaligus memberi sebuah trivia: tidak ada kata permisi dalam bahasa mandarin”. Hal tersebut berdasarkan pengalaman penulis selama di Beijing dimana di restoran saja, pelayan bisa menaruh makanan dari samping kepala kita tanpa bicara sedikitpun . Tiba-tiba dari belakang nongol piring berisi makanan panas. Di China, ada beberapa cerita yang membuat saya ngilu yaitu cerita mengenai seorang Ibu yang sedang menunggu anaknya buang air besar di trotoar, ada kotoran manusia tidak hanya berceceran di lantai toilet bahkan juga di tembok. Ini hanyalah segelintir potret kehidupan dan cara hidup mahkluk bernama manusia di luar Indonesia dan tentunya masih banyak lagi deretan cerita dari masing-masing kota yang membuat kita menjadi “oh, jadi begitu tooo”. Tidak hanya hal buruk saja namun juga ada hal-hal baik yang bisa kita pelajari untuk diterapkan di bumi pertiwi ini. 

+Thing

Ringan, humoris cukup informatif, 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline