Lihat ke Halaman Asli

Desy Pangapuli

Be grateful and cheerful

Pandemi dan Sebuah Perjalanan

Diperbarui: 11 Maret 2021   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.freepik.com/

Menghormati keberagaman dan teman-teman yang merayakan Isra Miraj, merupakan satu dari berkat tinggal di negeri ini.  Kita dengan keyakinan masing-masing menjadi belajar dan mengenal keyakinan lainnya.  Lebaran di negeri ini misalnya, satu dari perayaan keagamaan sahabat Muslim yang euforia juga dirasakan oleh non-Muslim.  Ngaku, aku salah satunya, karena selalu kecipratan ketupat beserta teman-temannya.  Asyiiiikk...dan mantap!

Lalu bagaimana dengan Isra Miraj yang menurut sahabat Muslim merupakan peristiwa penting dan agung dalam sejarah Islam, perjalanan hidup Nabi Muhammad.  Dimana Nabi Muhammad melakukan perjalanan dalam semalam dari Mekah ke masjid terjauh, yaitu Masjid Aqsa di Yerusalem.  Lalu naik ke surga, dimurnikan dan diberi perintah bagi umat Islam untuk sholat lima kali sehari.

Sebagai non-Muslim aku jauh dari memahami.  Pendapatku, inilah bentuk keikhlasan dan kepatuhan Nabi Muhammad kepada sang pencipta.  Bukan perjalanan yang mudah, karena banyak hal yang ditemui Nabi Muhammad sebelum akhirnya mendapatkan amanah perintah sholat lima kali sehari yang kini dijalankan umat Islam sebagai kewajiban.  Mengingat dan melibatkan Dia di setiap waktu, dan bukan larut dalam kesibukan dunia mengejar harta.

Mari kita jujur, seberapa pernah kita sungguh datang tersungkur dengan hati?  Bukan karena rutinitas, tetapi karena rindu Dia.  Banyak manusia hanya mengingat Dia ketika di kondisi lemah, sakit, dan kecewa.  Tetapi ketika di kondisi nyaman, Dia begitu mudah dilupakan oleh manusia.  Lebih ngerinya lagi, datang hanya karena formalitas.

Aku mencoba melihat pandemi ibarat sebuah perjalanan.  Perjalanan yang menampar, dan membuka mata, kita ini bukan siapa-siapa tanpa Dia.  Bahwa ternyata harta dan kekayaan yang kita miliki tidak bisa membeli keselamatan, tidak bisa membeli nyawa!  Tua dan muda, laki-laki atau perempuan, apapun agama dan jabatan serta kaya dan miskin tersungkur di kaki Tuhan!  Pandemi membuktikan manusia nothing!

Kilas balik di awal Indonesia menghadapi Covid, banyak kesombongan dipertontonkan karena merasa harta menjamin keselamatan.  Memborong seisi toko demi menimbun makanan.  Betapa mengerikannya sifat manusia karena dipikirannya hanya kenyang diri sendiri.  Sementara di luar sana banyak orang kekurangan, yang untuk makan sederhana saja sulit.

Setahun sudah Covid bertamu di negeri ini.  Bercampur aduk segala bentuk rasa yang menguras airmata dan kesabaran.  Tetapi apakah tidak ada yang hal baik yang bisa kita pelajari?

Harusnya pandemi menjadi perjalanan yang menghantam dan membuat kita menjadi manusia lebih baik.  Inilah yang akhirnya terlihat saat manusia tersungkur di kaki Tuhan, bahwa:

  1. Pandemi membuat orang mencari Tuhan, datang dengan hati dan berserah
  2. Pandemi membuat manusia berempati dan saling berbagi.
  3. Pandemi menyadarkan bahwa harta bukan segalanya, karena terbukti tidak bisa membeli nyawa.
  4. Pandemi mengubah sosok manusia menjadi merendahkan hatinya

Pandemi adalah perjalanan anak manusia ketika hatinya dimurnikan bagi yang mau.  Kita lihat saja, jika sebelum pandemi tidak pernah kita mensyukuri kesempatan bertemu teman.  Kita tidak pernah rindu Tuhan, dan kita tidak pernah terusik dengan penderitaan orang lain.

Tetapi saat pandemi mengurung dan membatasi ruang gerak, hati kita merasa kehilangan.  Kehilangan sahabat, rindu beribadah, dan merasakan lapar serta kepedihan ketika melihat mereka yang kekurangan.  Kita bahkan menangis untuk mereka yang kehilangan kerabat dan sahabat.  Hal-hal yang mungkin tidak akan terjadi jika pandemi tidak terjadi, karena kita akan terus larut terbuai tawaran dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline