Lihat ke Halaman Asli

Air Mata Topeng Mengangkat Kemunafikan

Diperbarui: 1 Juni 2018   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Irawan Sandhya Wiraatmaja saat bedah buku. (Kiri)

Acara Sastra Reboan di Warung Apresiasi, Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan, Rabu (28/2) selain pembacaan puisi juga ada bedah buku kumpulan puisi Air Mata Topeng karya penyair Irawan Sandhya Wiraatmaja dengan nama lengkap Mustari Irawan, sekaligus Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Setelah pembacaan puisi, Irawan memulai bedah bukunya dengan pembahas Maman S. Mahayana, kritikus Sastra Indonesia, sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dengan moderator Weni Suryahdari.

Irawan yang sudah memulai kepenyairannya ketika ia masih duduk di bangku SMA, pernah tampil meraih penghargaan sebagai pemenang Buku Utama di Hari Puisi Indonesia tahun 2017 lalu. Buku tersebut berjudul 'Giang' Menulis Sungai, Kata-Kata Jadi Batu. Namun, dalam acara Sastra Reboan yang mengangkat tema Cinta Penuh Satra ini, Irawan menghadirkan buku berjudul Air Mata Topeng yang berisi 102 puisi.

Dalam menulis puisi di buku Air Mata Topeng ini, Irawan memperhatikan pemilihan diksi yang dianggapnya menghidupkan citraan pembaca. Puisi yang ditempatkan pada bagian awal buku Air Mata Topeng ini berjudul "Sebutir Garam di Secangkir Air". Puisi ini menafsirkan tentang manusia dablek yang tidak tahu diri. Dalam kehidupan sosial-politik, peristiwa semacam itu bertebaran di depan mata kita.

Buku Air Mata Topeng mengangkat persoalan kemunafikan dalam konteks puisinya. Orang-orang yang sadar dengan ketersesatannya, tetapi tetap kumeukeuh. Dalam konteks puisi ini, Irawan tidak menilai baik-buruk, cukup mengisyaratkan ciri-cirinya. Para munafikun atau orang yang semacam itu, diungkapkan lagi dalam lirik sebutir garam tak ingin mencium laut.

Lewat puisi-puisi yang ada dalam buku Air Mata Topeng ini, pembaca jadi harus berpikir dalam mencari maknanya. Namun dalam bedah buku ini, Irawan mengatakan, bukan di situ duduk soalnya, melainkan proses berintegrasi dengan teks yang memunculkan tafsir. Tak hanya membahas puisi yang ada dalam buku Air Mata Topeng ini, namun bedah buku juga membahas alasan judul buku Irawan.

Bagaimana mungkin topeng mengeluarkan air mata? "Betul, topeng mustahil mengeluarkan air mata, tetapi topeng itu digunakan seseorang," dikutip dari materi paradoks Air Mata Topeng. Seseorang itu, sudah memakai topeng untuk menyembunyikan karakter aslinya, namun masih juga mengelabui lewat air mata. Buku kumpulan puisi Air Mata Topeng ini dapat ditafsirkan sebagai seseorang yang berbohong untuk menutupi kebohongan pertama.

Sebagian besar puisi Air Mata Topeng memang menampilkan kritik, namun tidak sedikit yang menampilkan refleksi diri, kerinduan pada Tuhan, dan seterusnya. Hal kedua yang dilakukan Irawan dalam menulis buku ini adalah enjambemen. Tidak hanya antar lirik, namun juga antar bait. Maka, tidak perlu heran jika dalam larik terakhir sebuah bait, kita menemukan kata yang seolah-olah menggantung.

 Selain membahas buku Air Mata Topeng, Irawan juga menjelaskan tentang dirinya saat diwawancarai beberapa mahasiswa. "waktu bukan masalah, karena saya bisa menulis di mana saja. Saat saya memimpin rapat, kemudian ada ide, saya tulis saja pakai hp. Menulis menurut saya tidak mengenal waktu." pungkas Irawan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline