Lihat ke Halaman Asli

Deni Saputra

Seorang Guru dan Penggiat Literasi

Cerpen: Ada Cinta di Balik Hidayah

Diperbarui: 28 November 2021   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(A. Deni Saputra)

Hidayahku

Assalamu'alaikum. Semoga Allah melimpahkan keselamatan pada kita semua. Seraya mengucapkan salam aku memasuki rumah.  Aku menemukan ibu yang sedang sibuk dengan masakannya. Siang hari ini waktu menunjukkan pukul empat sore. Ibu sedang mempersiapkan makan malam, untuk aku, ayah, dan ibu sendiri. Ayah sebentar lagi pulang dari kerjanya sebagai salah satu karyawan di sebuah perusahaan di Sukabumi.

Aku hidup dalam keluarga sederhana. Tetapi alhamdulillah, tidak berarti sederhana dalam cinta dan kasih saying keluarga. Ayahku bernama Firmansyah dan ibuku bernama Astuti. 

Aku sendiri bernama Akbar Intifadasyah. Sebuah nama yang agung yang diberikan orang tuaku. Sekarang aku berumur sembilan tahun dan duduk sebagai siswa kelas empat. 

Nama sekolahku adalah SDI Attaubah alias Sekolah Dasar Islam Attaubah yang berada di Cijeruk, salah satu daerah yang ada di pinggiran Sukabumi. Selain aku belajar di sekolah, aku juga masuk sebuah pesantren Al-istiqamah sebagai santri TPA. Pesantren Al-istiqamah sendiri letaknya tidak jauh dari rumahku sehingga tidak membuat badan lelah jika harus mengejar waktu dengan jalan kaki.

Orang tuaku sangat mendukung apa yang telah aku lakukan. Meski waktu bermain sangat kurang, tetapi tidak mengurangi kebahagiaanku semasa kecil. Aku bangga pada ayah dan ibuku. Ayah bekerja sedangkan ibu menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengurus aku, ayah, serta rumah kami yang sederhana. Ibu yang memberikan motivasi untuk melakukan hal-hal yang baik. Mengenyam pendidikan untuk kebutuhan dunia serta akhirat.

***

Sejak aku umur empat tahun, aku terkenal dengan nakalnya di lingkungan rumahku. Selalu mengusili temannya, merebut mainan temannya, dan malas mengerjakan sesuatu di rumah. Orang tuaku sebenarnya selalu mengajarkan aku untuk bersikap baik sejak aku masih kecil. Tidak tahu mengapa aku tidak mengikuti ajaran orang tua. Aku dikenalkan dengan agama, diajarkan mengaji, diajarkan belajar membaca, menulis, dan lainnya. Tetapi kenyataannya aku memiliki watak yang keras.

Pernah suatu hari aku membuat salah satu temanku bermain bernama Rahmat keningnya berdarah. Peristiwa itu terjadi di saat aku bermain mobi-mobilan di depan rumahku. Aku menginginkan mobil-mobilan yang dibawa Rahmat.

"Pinjam mobil-mobilan punya kamu!"  ucapku dengan tegas sambil merebut dari tangannya Rahmat. Rahmat tidak mau memberikannya. Kami pun saling berebut. Aku kesal hingga aku memukul Rahmat memakai mobil-mobilan yang aku bawa. Rahmat menangis kesakitan dan mengadu pada ibunya. Aku dimarahi orang tua Rahmat dan tentunya ayahku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline