Lihat ke Halaman Asli

Deni Saputra

Seorang Guru dan Penggiat Literasi

Cahaya Pembias Dosa

Diperbarui: 15 September 2021   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cahaya Pembias Dosa

Mata itu sudah membusung dengan air mata. Dan cahaya itu telah mengeruhkan air mata yang suci karena pembiasannya. Sedangkan ayat itu pun lumer karena tak kuasa menghitung dosa.

 

***

Di atas atap rumah, aku terbaring dengan mata menghadap ke langit yang rontok bintang-bintang. Ketika angin malam mengantarkan kotak untuk mengambil setiap dosaku itu, aku tetap membaringkan tubuhku tanpa bergerak. Ketakutan itu tidak menghampiri setelah aku mengeluarkan air mataku yang membusung itu.  Entahlah, semalaman aku menduduki tahta seperi insan pilihan. Doa dan dzikir aku hadiahkan setiap malam sehingga aku pun telah menghitung berapa lama usiaku akan berlanjut. Seperti apa yang diperintahkan oleh orang tua terdahulu, guru mengajiku, atau nenek moyangku agar mengamalkan ayat itu setiap malam.

            "Badar, kamu tidak bosan dengan memanggil namaku beratus kali?"

            "Aku tidak menginginkan mataku membusung lagi."

            "Setiap malam? Sedangkan namamu tidak pernah ada yang memanggil ketika kau tidur di atas atap rumahmu ini."

            Pernahkah tersadar olehku akan perbedaan antara manusia dan ayat suci.? Sering. Aku tertidur dan bermimpi. Aku menjadi cahaya itu. Dan terus membiaskan dirinya di hamparan langit ketika orang-orang sedang terlelap tidur.  Ya, konyol sekali jika aku bukan diriku. Aku adalah ayat itu. Cahaya itu. Aku tidak akan menghitung dosaku. Sedangkan orang-orang akan menghitung namaku sampai beratus-ratus kali.

            Hati ini terus menggurik dosa apa yang telah aku lakukan sepanjang siang hari tadi.  Awan mengumpulkan kawannya agar menutupi bintang yang aku hitung semalaman. Awan itu tidak merestui dirinya menjadi pandanganku malam itu. Mungkin karena dosaku sudah sangat hitam selayaknya awan itu tidak memburu matahari. Bulan pun enggan untuk menemuiku.

            "Sekarang sudah berapa ratus kali kau menyebut namaku?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline