Lihat ke Halaman Asli

Perayaan Tahun Baru dan Asceticism

Diperbarui: 2 Januari 2016   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perayaan tahun baru baru saja berlalu. Seperti halnya perayaan lainnya, perayaan tahun baru selalu meninggalkan kesan kegembiraan dan kemeriahan. Kegembiraan sebagai bentuk emosi manusia seringkali diwujudkan dalam bentuk-bentuk perayaan, salah satunya adalah perayaan tahun baru.

Kegembiraan harus lah mendahului perayaan karena jika tidak maka perayaan tersebut adalah bentuk semu dari kegembiraan yang sama semunya. Tahun baru berarti semakin bertambahnya usia dan pengalaman dan biasanya pertambahan usia dan pengalaman secara obyektif dimaknai sebagai kegembiraan.

Setidaknya tulisan ini akan mengacu pada pemaknaan umum seperti itu karena jika tidak maka pembahasannya akan masuk melalui metode fenomenologi subyektif dan dalam metode tersebut besar kemungkinan muncul atribut ketidakbahagiaan atau kebahagiaan semu yang dialami individu ketika pengalaman subyektifnya dihubungkan dengan kedatangan tahun baru. Dengan kata lain, ada keharusan untuk mengambil kesimpulan awal bahwa manusia (atau kebanyakan manusia) merasa senang karena kedatangan tahun baru (dan oleh sebab itu merayakannya).

Sejarah manusia selalu dihiasi dengan perayaan-perayaan. Sebab umum dari perayaan adalah emosi positif yang muncul dari pencapaian. Contohnya bangsa yang baru saja menang perang biasanya akan melakukan perayaan kemenangan yang biasanya ditandai dengan pawai militer dan kekuatannya meskipun perang yang baru saja usai telah merenggut ribuan nyawa. …..Dan lesser evil of two evils adalah pembenarannya.

Perayaan tahun baru berawal dari kebahagiaan sebagai emosi positif yang muncul karena pencapaian. Bangsa yang perekonomiannya maju pada tahun itu akan merayakannya lebih meriah daripada bangsa yang tidak mengalami kemajuan ekonomi yang sama. Dan tentu aneh jika yang terjadi sebaliknya. Dan jika keanehan itu memang benar-benar terjadi sebabnya mungkin adalah keberadaan kekuatan lain yang memiliki kekuatan rekayasa, seperti contohnya kekuatan otoritas ekonomi untuk mendongkrak pendapatan regional yang bersumber pada perayaan tersebut. Tetapi kekuatan seperti itu tidak bersifat alami dan menampilkan atribut pengarahan dan sebaiknya diletakkan diluar wilayah pembahasan dalam tulisan ini.

Bisa diambil kesimpulan sementara bahwa semakin besar pencapaian yang diperoleh melalui usaha, semakin kuat pembenaran untuk melakukan perayaan yang meriah yang intensitas kemeriahannya sebanding dengan besarnya pencapaian. Otoritas kota yang merayakan kemenangan tim sepak bolanya dalam kompetisi regional dengan cara melakukan pawai seminggu penuh mungkin akan dianggap melakukan perayaan yang terlalu berlebihan yang akan berakibat hilangnya legitimasi sosialnya (dari warganya sendiri).

Legitimasi sosial sebagai sumber keabsahan tindakan harus diperoleh sebelum perayaan mana pun bisa dilakukan. Perayaan tahun baru di sebuah kota yang menampilkan atribut seperti berkumpulnya masa di tempat-tempat tertentu dalam jumlah besar, meniup terompet dan membuat keriuhan, menyalakan kembang api, mengadakan konser musik, pesta dan makan-makan, begadang sampai pagi dan atribut-atribut lainnya tentu saja sudah memiliki keabsahan sosialnya.

Manusia memang memiliki sifat Dionysian atau sifat-sifat yang menampilkan sisi emosional dari manusia selain sifat Apollonian atau sifat-sifat yang menampilkan sisi pemikiran dan pendisiplinan diri. Perayaan-perayaan yang dirayakan oleh manusia mulai dari awal terbentuknya peradaban adalah bukti sisi Dionysian manusia. Dengan kata lain jika kemanusiaan akan selalu terhubung dengan wujud manusia maka peradaban manusia akan selalu dihiasi dan diwarnai dengan perayaan-perayaan.

Tetapi ada kekuatan lain dalam struktur sosial manusia yang menyangkal validitas kausal perayaan-perayaan tersebut. Kekuatan dalam bentuk ide dan komunitas yang berafiliasi erat dengan struktur institusi keagamaan. Ide dan komunitas yang sering menyampaikan kampanye pentingnya “pendisiplinan diri” dalam ritual-ritual keagamaan sebagai satu-satunya jalan mencapai kebahagiaan yang sebenarnya, kebahagiaan spiritual.

Pendisiplinan diri adalah salah satu langkah dalam praktek pengekangan diri dari kenikmatan dunia yang dikenal dengan asceticism yang berasal dari kata Yunani, askesis yang berarti melatih. Asetisisme memiliki hubungan erat dengan ajaran agama karena biasanya agama mengajarkan umatnya untuk tidak terlalu terlena dengan kenikmatan duniawi tetapi tidak semua agama mengajarkan keharusan untuk mempraktekkan asetisisme ketat atau otherworldly asceticism. Lawan dari otherworldly asceticism adalah worldly asceticism yang masih memberikan ruang untuk menikmati kenikmatan duniawi sepanjang tidak menyesatkan dari “panggilan” ilahi.

Pernyataan relijius yang benar-benar melarang perayaan-perayaan cenderung menampilkan elemen asetik yang otherworldly. Pernyataan seperti ini jarang dijumpai karena hampir tidak ada ajaran teistik yang benar-benar mengharuskan semua pengikutnya untuk melakukan praktek asetik ketat ini, kecuali turunan dari ajaran yang kemudian disebut dengan sekte.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline