Kapal dan (dalam) botol. Kata 'fana' sering digunakan dengan makna peyoratif. Fana sering disandingkan dengan makna-makna khayalan, mengada-ada, tidak nyata, dan bahkan, dalam wacana-wacana keagamaan, dikaitkan dengan hal-hal yang harus ditinggalkan demi kehidupan setelah hidup. Kefanaan akhirnya tidak memiliki bentuk dalam pikiran-pikiran masyarakat. Dia tidak lebih dari hanya sekadar label pada pengalihan perhatian seseorang dari yang pada-mulanya-nyata kepada hal yang "sebenarnya"-nyata, yang seringkali masih dalam proses menyata. Keberadaan definisi 'fana' ternyata tidaklah sefana rasanya. KBBI memiliki definisi 'fana': dapat rusak (hilang atau mati), tidak kekal. Apakah kefanaan atau ketidakkekalan berarti ketiadaan yang asli? Lalu mengapa masih sampai kita mengenali dan mengucapnya? Fenomena. Ini juga kata yang dipakai oleh khalayak umum tanpa mengindahkan maksud. Pada pantauan sekilas, mengucapkan 'fenomena' sama seperti mengangkat peristiwa, kejadian, atau gambaran besar wacana yang terdengung di ranah publik. Kata 'fenomena' bisa juga jadi diksi ampuh untuk mengelabui perhatian pada perincian sesuatu, seperti menyebut fenomena 'bencana alam', 'kemiskinan', 'korupsi', dan lain-lain bahasa televisi serta seminar-seminar yang seringkali untuk memperkuat gaya gravitasi terhadap pemirsanya. Fenomena tersebut dalam dikotomi 'noumena' v.s. 'phenomena' oleh Immanuel Kant. Noumena untuk realita atau hal-hal objektif di luar subjek manusia. Phenomena merupakan tangkapan indera manusia yang sedang tertuju pada noumena. 'Sedang tertuju' ini oleh Edmund Husserl, khususnya Bronteno, disebut sebagai intensionalisme. Maksudnya, tidak ada fenomena yang dihasilkan langsung dari noumena yang tanpa terlebih dahulu diputuskan untuk diperhatikan, secara sadar atau kurang sadar tanpa tidak sadar. Fenomena dan 'fana' saya anggap berhubungan. Sangatlah mungkin 'fana' ada sebagai bagian dari 'fenomena' = 'fe' + 'nomena' walau memang bukan 'feno' + 'mena'. Dari 'feno' bisa jadi 'fana', sekadar dibuat-buat. Tapi prinsipnya, makna fenomena dengan ketidakkekalan bisa beriringan. Apakah sesuatu yang relatif itu kekal? Tentu tidak. Noumena akan selalu ada dalam keadaan tidak terpikirkan (langsung?) oleh manusia. Kondisi ini mencakup kondisi yang lain bahwa noumena atau kenyataan objektif itu bersifat kontingensi: ada atau tidaknya tidaklah pasti. Sifat kontingensi ini tidaklah tepat untuk bisa menjadikan klaim bahwa manusia mengetahui realita. Mengapa? Karena hanya melalui inderalah manusia mendapatkan "pengetahuan-tentang" selain dirinya, bukan "mengetahui" kenyataan atau tentang selain dirinya yang lain. Siapa yang bisa memastikan bahwa indera kita mendapatkan informasi, yang akan dikirimkan pada 'kita' itu, dari sesuatu di luarnya? Jika belum ada yang bisa memastikan, hal paling nyata dalam pikiran kita itulah fenomena. 'Fenomena'? itu si 'fana'. Pengalaman dan Kesadaran. 'Kita', atau mungkin pembaca bisa menggantinya dengan 'aku', adalah pernyataan kesadaran. Pengalaman adalah atribut dari kesadaran karena 'kita'/'aku'-lah yang berpengalaman. Pengalaman dan/atau kesadaran menjadi bahasan sengit di antara 'fenomenologi' (maaf baru memperkenalkan) dari aliran filsafat Continental dengan 'philosophy of mind' dari aliran filsafat Analitik. Perbedaan dari kedua aliran itu tipis sehingga kita bisa melihat pengalaman dan kesadaran sebagai hal yang mudah dicerna sekarang oleh siapapun. Ibnu Sina, filsuf yang ahli kedokteran itu, berdalil tentang jiwa, tentang 'kita'/'aku', dengan khayalan 'tergantung di udara'. Terbang tergantung di udara membiarkan seluruh indera kita libur. Libur para pekerja tidak berlaku bagi 'majikan', jiwa. Hanya saja, jiwa ini tak akan mengetahui apapun selain keberadaan jiwa itu sendiri, kesadaran. Tubuh pun tidak jelas sedang dalam posisi atau gesture seperti apa, ucap sang jiwa. Struktur kesadaran-pengalaman inilah yang menjadi rak bagi fenomena. Semakin sadar dan berpengalaman, berarti makin banyak pula fenomena dalam 'kita'. Artinya, semakin panjang waktu kita untuk sadar dan berpengalaman, semakin meningkat ke-'fana'-an 'kita'. Adalah 'kita', 'fana', dan kenyataan. Menyatakan Kesadaran. Lalu, bisa dimakakan, sebenarnya penolakan terhadap 'fana' adalah penolakan akan kesadaran a.k.a. ke-'kita'-an atau, boleh, ke-'aku'-an. Seringkali penolakan ini dilakukan oleh orang dewasa yang sudah sangat banyak pengalamannya. Bisa dikatakan juga bahwa hanya orang dewasa yang sangat menghindari ke-'fana'-an. Artinya, seharusnya, kebanyakan orang yang mendewasa hendak menolak pendewasaan mereka sendiri karena semakin dewasa mereka, semakin sesak kefanaan di dalam dirinya. Kefanaan yang sesak itu tersusun, bahkan, mendirikan bangungan bernama 'kita'. Mereka menolak apa-apa yang mereka anggap fana, sedangkan dirinya adalah kefanaan yang luar biasa. Logikanya, menolak diri sendiri adalah hal yang tidak lebih baik dari bunuh diri. Menolak kefanaan yang menyusun kesadaran-berpengalaman adalah hal yang tidak mungkin membawa kita pada kemajuan peradabaan hingga saat ini. Bahkan, menolak kefanaan tak akan mampu membawa kita pada keyakinan atas Tuhan yang paling esensial. Masih bertanya 'adakah Tuhan'? Lalu mau berkhayal apa lagi jika terjadi tiga hal sekaligus dalam pikiran. Kefanaan harus dipelihara untuk membuat kita yakin dalam menyatakan kesadaran bahwa kita terbatas. Bermainlah di wilayah 'fana' ini, menengahi kedunguan 'kita' dan misteri kenyataan. Tuhan menciptakan ketiganya agar manusia tidak terjebak dalam dua kutub kebodohan. Menyatakan kesadaran adalah menyatakan "fana" yang luar biasa. Dan itu nyata.