Lihat ke Halaman Asli

David F Silalahi

TERVERIFIKASI

..seorang pembelajar yang haus ilmu..

Jangan Diamkan Opini Sesat, Ceriwislah Wahai Para Pakar.

Diperbarui: 11 Oktober 2021   05:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels 

“Ah..gampang gitu, kok gak gol sih!? Bego ah..” umpat seorang penonton pertandingan sepakbola di TV. “Iya..ampun deh, tinggal disontek  doang, kok gak bisa..payahhh” timpal yang seorang lagi. Tetiba ada seorang yang menyeletuk kencang “Eh..diam lo..kayak lebih jago aja lo daripada pemain..”

Saya yang kebetulan berada dekat langsung tersenyum simpul. Dalam hati saya juga ingin mengatakan hal sama. Komentator memang lebih jago dari pemain lapangan. Haha

Bisa jadi pembaca juga pernah mengalami hal sama. Atau malah berperilaku sama seperti penonton tersebut. Apakah pernah terbayang bahwa pemain sepakbola tersebut tidak hanya asal bermain. Mereka ikuti latihan rutin, arahan pelatih, dan berada langsung di lapangan. Lalu siapa kita, yang dengan mudahnya mengomentari atau menghakimi.

Hal semacam ini tidak hanya terjadi pada konteks mengomentari pertandingan sepakbola. Banyak juga terjadi pada aspek kehidupan lain. 

Entah sekedar mengomentari berita. Entah itu merespon status media sosial seseorang yang mengaku pejuang keadilan sosial (social justice warrior -SJW) yang seenak udel mengkritik kebijakan Pemerintah. 

Tanpa mempertanyakan apakah isi kritik si SJW itu dapat diterima akal, banyak netizen yang langsung mengamini, meng-share, bahkan ikut menambahkan komentar pedas. Bisa jadi ini sekadar karena rasa kebencian pada pihak yang dikritik tadi.

Banyak yang sering abai, apakah SJW tersebut punya kepakaran dalam hal yang dia kritik? Apakah memang pihak yang dia kritik memang sebodoh itu? 

Perlukah ada koreksi? 

Pada masa Nazi Jerman, Joseph Goebbels, Menteri Propaganda, bahkan mengatakan "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran”.

“If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it" - Joseph Goebbels

Tidak mudah mencegah tersebarnya hal-hal negatif, berita bohong, fitnah, di media sosial. Ini terjadi setiap hari. Ini tentu berbahaya dan diperparah dengan tiadanya informasi pembanding. Bisa jadi seperti kata maestro propaganda, Joseph Goebbels, lama-lama informasi sesat itu diterima oleh publik sebagai kebenaran. 

Tidak ada pakar di bidang tersebut mengulas dan menyampaikan koreksi apabila ada informasi yang keliru di ruang publik. Inilah yang sering kali dikritik sebagai 'matinya kepakaran'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline