Lihat ke Halaman Asli

Eropa: Dimana Tuhan Semakin Kehilangan RumahNya

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selamat datang di Eropa, benua tempat terbitnya matahari pencerahan akal budi dan renaissans. Negeri di mana untuk pertama kali terlahir manusia yang mengenal eksistensi dirinya, yang membebaskan dirinya dari belenggu dogma, yang menyadari kemampuan rasio dan akal budinya dalam menentukan dirinya sendiri. Inilah negeri di mana para filsuf raksasa tumbuh dan pemikirannya turut membentuk karakter dunia: Francis Bacon (1561-1626), Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume (1711-1776), Immanuel Kant (1724-1804), Hegel (1770-1831), Auguste Comte (1798-1857), Engels (1820-1895), Karl Marx (1818-1883)…. Selamat datang di Eropa, benua di mana lahir penemuan-penemuan terbesar umat manusia, sains dan teknologi tingkat tinggi bahkan hingga kini. Dan pada saat yang sama, nyaris separuh manusia penghuninya “tidak beragama” dalam arti tidak beriman secara “tradisionil”..tidak memeluk sesuatu agama: 27% dari total manusia eropa mempercayai adanya sesuatu kekuatan penggerak hidup yang ghaib…dan 18% dari total manusia eropa malah tidak mempercayai sama sekali adanya kekuatan adikodrati (survei thd 32 negara Eropa, ^ "Eurobarometer on Social Values, Science and technology 2005 - page 11" (PDF). Retrieved on Sept 18 2008). Di Negeri kincir yang berpenduduk 16 juta manusia, hanya 39% yang “beragama” dalam arti keimanan tradisional, sementara 40% lainnya percaya kepada sesuatu kekuatan adikodrati yang ghaib meski tak memeluk sesuatu agama. (Becker, Jos and Joep de Hart, 2006. Godsdienstige veranderingen in Nederland). . Adalah agnotisisme, di dalam mana Eropa berenang dan hidup di dalamnya sekarang dan (sepertinya) semakin dalam ke masa depan. Sebuah paham yang berpendapat, bahwa adanya Tuhan tidak dapat diketahui melalui jalan rasionalitas dan tidak mungkin dipastikan secara teoritis obyektif. Benih telah ditanamkan, ketika Descartes (1596-1650) –sang Bapak Filsafat Modern- menyatakan bahwa hanya kesadaran dirilah (cogito) sumber pengetahuan yang benar, bahkan menggeser semua dogma ajaran … Cogito, ergo sum!. Lebih jauh Immanuel Kant (1724-1804) menyatakan bahwa karena pengetahuan kita sangat terbatas hanya pada dunia inderawi, maka adanya Tuhan yang terletak di luar pengalaman manusia (sehingga Tuhan bukan obyek inderawi) tidak mungkin ditentukan secara teoritis. Bagi Kant, jalan menuju pembuktian adanya Tuhan melalui pengetahuan obyektif adalah tidak mungkin. Agnotisisme tidak menolak adanya Tuhan. Bagi agnotisisme, bahkan sikap ateisme yang tidak mempercayai eksistensi Tuhan adalah ketinggalan zaman dan tidak rasional. Namun agnotisisme menolak kemungkinan segala pengetahuan tentang Tuhan, misalnya yang dicoba dinalar dan kemudian dibakukan dalam bentuk ajaran-ajaran agama. Bagi agnotisisme, tidak mungkin kita bicara tentang Tuhan karena Tuhan tidak mampu kita jangkau dengan rasio. Tuhan hanya dapat dirasakan pada pertemuan-pertemuan di dalam nurani. Kepercayaan religius merupakan unsur dalam estetika jiwa, dan oleh karenanya agama merupakan urusan pribadi sesuai keyakinan serta selera masing-masing. Tidak ada satupun agama yang berhak mengklaim sebagai pemilik kebenaran obyektif yang mutlak. Terserah kecenderungan pribadi masing-masing untuk menghayati rasa berketuhanannya. Persaingan atau bahkan pertumpahan darah antar agama demi menunjukkan agama mana yang paling benar, adalah ndeso. Sama ndeso-nya dengan memaksa orang lain untuk lebih menyukai french-fries daripada oseng tempe. Selamat datang di Eropa...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline