Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Palestina. Obama Harus Lakukan seperti Carter

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14051417541353751306

Bicara Palestina, berarti kembali membuka sejarah lama. Sejarah setelah Perang Dunia II, di mana pada tahun 1947 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan No.181 (29 November 1947). Resolusi ini dianggap tidak adil oleh warga Arab Palestina. Kok, Wilayah Palestina yang luas dipecah menjadi tiga sesuai Resolusi itu, kelompok Yahudi memperoleh 56 persen, sementara yang memiliki tanah, warga Arab Palestina memperoleh 42 persen ? Sedang dua persennya lagi, termasuk kota tua Jerusalem masuk dalam pengawasan internasional.

Pembagian wilayah 56 persen ini memberi peluang kepada kelompok Yahudi mendirikan apa yang dinamakan Negara Israel pada 14 Mei 1948. Negara baru ini disetujui pula oleh negara-negara yang keluar sebagai pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).

Di sinilah titik kemarahan bangsa Arab. Negara Arab menganggap negara Sekutu pemenang Perang Dunia II telah mengubah sejarah rakyat Yahudi, yang semula dikejar-kejar, diusir dari satu tempat ke tempat yang lain, kini berubah menjadi bangsa menetap. Perang pun tak dapat dielakkan. Perang 15 Mei 1948 Israel diserbu oleh enam negara Arab, yaitu Lebanon, Suriah, Mesir, Irak, Transjordan (Jordania) dan Arab Saudi. Tetapi Israel mempu keluar sebagai pemenang, malah berhasil merebut lagi 70 persen wilayah Palestina.

Pasca perang, penduduk Palestina tinggal hanya memiliki Jalur Gaza dan Tepi Barat. Warga Arab Palestina mulai terusir dari wilayahnya sendiri, sama nasibnya dengan warga Yahudi sebelum negara Israel berdiri. Oleh karena itu pembantaian terhadap warga Palestina bukan baru-baru ini saja terjadi. Sudah sejak tahun 1948 sudah terjadi.

Setelah mengalami berbagai kekalahan, bangsa Palestina mengungsi ke berbagai negara. Hal ini bagi negara yang didiami menjadi beban. Apalagi di Jordania, banyak sekali bangsa Palestina mengungsi di sana. Perlawanan warga Palestina yang dikenal dengan Intifada, melawan tanpa senjata, tetapi batu hingga organisasi Black September meresahkan negara-negara yang ditumpangi membuat warga Palestina yang tidak terlibat kena dampaknya. Banyak di antara mereka menjadi warga kelas dua di negara yang ditumpangi. Tahun 1992 ketika saya ke Yordania dan Irak, banyak di antara mereka terlunta-lunta menjadi pengemis.

Itulah sebabnya ketika pada tahun 1970, Israel melakukan invasi  ke wilayah perbatasan Jordania untuk menyerang gerilyawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), pemerintah Jordania mengucapkan terimakasihnya kepada Israel. Jadi boleh dikatakan, di pihak Arab sendiri terjadi perpecahan-perpecahan dalam mensikapi tindakan Israel. Pun melakukan tindakan sendiri-sendiri untuk kepentingan dan manfaat negaranya. Jordania sendiri tahun 1994 menjalin hubungan dengan Israel. Hubungan ini bagi Israel sangat strategis karena melalui jembatan yang menghubungkan Jordania-Israel, lebih mudah untuk Israel melakukan tindakan apa saja seperti menangkap warga Palestina yang dianggap merugikan negaranya.

Perundingan-perundingan damai bukan tidak pernah diselenggarakan. Berkali-kali dibuat, tetap pada saat bersamaan dilanggar. Peranan Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam perdamaian di Timur Tengah sangat menentukan. Menariknya yang kita catat sebagai momen penting Amerika Serikat dalam perdamaian Arab-Israel adalah dilangsungkannya perdamaian Camp David antara Mesir-Israel yang ditengahi Presiden AS Jimmy Carter. Hanya sayangnya perdamaian ini tidak langgeng, karena Rusia tidak dilibatkan. Bagi Mesir dengan perjanjian perdamaian tersebut mengambil manfaat dengan diserahkannya kembali wilayah-wilayah Mesir yang pernah direbut dalam perang. Tetapi kunjungan Presiden Mesir ke Israel dan membuat perdamaian membuat Mesir diisolasi oleh negara-negara Arab lainnya. Menurut mereka perdamaian itu hanya sebatas Mesir dan Israel, tidak melibatkan negara-negara Arab lainnya.Bahkan dengan melakukan tindakan ini, Presiden Mesir Anwar Sadat merenggang nyawa di tangan tentaranya sendiri.

Kalau kita ingin tahu bagaimana peranan Indonesia dalam perundingan ini sangat besar. Sebelum diselenggarakannya perjanjian Camp David, Mayor Rais Abin (putera bangsa Indonesia) menjadi Panglima Pasukan Perdamaian di Sinai. Pengangkatannya menjadi Panglima juga disetujui Israel. Tanpa disetujui Israel mana mungkin bisa menciptakan suatu perdamaian? Ia membawahi 4.031 personel dari gabungan pasukan tujuh negara. Dari Rais Abinlah muncul informasi sewaktu melaporkan hasil kerjanya kepada Sekjen PBB Kurt Waldheim, bahwa "perundingan tingkat tinggi bisa dilaksanakan, karena di lapangan pihak Mesir dan Israel sudah mau berunding." Tanpa mendengar laporan putera bangsa kita ini, sudah tentu Sekjen PBB tidak akan melakukan perundingan tingkat tinggi seperti Perjanjian Camp David itu sendiri.

Baru-baru ini pembantaian warga Palestina di Jalur Gaza sudah mendekati dan malah lebih dari 100 orang. Yang tewas bukannya pasukan pejuang Palestina, tetapi warga sipil. Dunia mengutuk, tetapi tetap saja berlangsung. Tindakan Israel ini bukan kali ini saja terjadi. Pada saat bersamaan Amerika Serikat selalu mendukung Israel di Dewan Keamanan PBB dengan hak vetonya. Di samping sudah tentu peralatan militer Israel sudah boleh dikatakan super canggih, malah diizinkan memiliki senjata nuklir. Saya berkomentar di salah satu web agar bangsa Arab bisa bersatu. Sepertinya gerakan intifadah atau lemparan roket-roket yang biasa-biasa saja tidak mampu menghentikan serangan Israel kapan pun juga. Transfer ilmu pembuatan senjata bagi Warga Palestina memang sangat dibutuhkan dari negara-negara lain seperti Iran misalnya, karena sudah berhasil membuat senjata nuklir. Jika Palestina kuat secara militer, sudah tentu Israel pun berhati-hati dan berpikir dua kali menyerang Palestina meskipun kini hanya memiliki wilayah di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Peranan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama tidak dapat dikesampingkan. Kalau kita melihat penampilan Obama melalui foto yang saya unggah dari Gedung Putih ini, ada kejujuran dalam hati Obama sebagai pribadi untuk menyelesaikan perdamaian di Timur Tengah. Lihatlah fotonya yang sangat bersahaja, tanpa basa basi dan tanpa dipoles. Kepemimpinan Obama akan semakin dikenang kalau ia bisa menciptakan perdamaian seperti Presiden AS sebelumnya, Jimmy Carter. Sudah saatnya negara-negara Pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Rusia mengakui kemerdekaan bangsa Palestina. Tidak hanya de facto, tetapi juga de jure. Jika negara Palestina berdampingan dengan Israel, korban-korban sipil tidak akan pernah terjadi lagi di Timur Tengah.

[caption id="attachment_347377" align="aligncenter" width="508" caption="Kesahajaan, kejujuran penampilan Obama di foto ini hendaknya bisa juga menjadi modal kejujuran Obama menyelesaikan masalah Palestina-Israel (Foto diunggah dari Google/Gedung Putih) "][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline