Lihat ke Halaman Asli

Puisi Sukmawati dan Realitas Umat Dakwah

Diperbarui: 4 April 2018   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sukmawati Soekarno Putri (Sumber: Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

Saya tidak mengikuti perkembangan diskursus atau pengadilan sosmed terhadap puisi Sukmawati Soejaro Putri. Jadi yang akan penulis sampaikan adalah hasil penelaahan penulis terhadap puisi yang kebetulan diunggah oleh teman Facebook. Penulis mencoba menangkap apa yang terkandung didalamnya (tentunya sesuai interpretasi penulis) dan setelah kita pahami gambaran yang ada penulis coba kaitkan dengan tugas kita bersama sebagai umat dakwah.

Untuk memahami bait pertama, penulis mencoba membuat parafrasenya "memang aku tidak tahu (memahami) benar keindahan syariat Islam (terkait dengan cadar), tetapi  Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Dimana keindahannya lebih cantik dari cadar dirimu (jika hanya untuk menutup aurat fisik (ujudmu, tanpa menutup aurat batin).

Gerai tekukan rambutnya (seluruh tampilannya yang jujur, tanpa hipokrit) itu suci sebagaimana sucinya Jilbab yang digunakan untuk menutup auratmu (kain pembungkus ujudmu). Hal ini merupakan perwujudan dari kesadara rasa, karsa, ciptanya dengan kondisi lingkungannya yang berbineka (Rasa ciptanya sangatlah beraneka. Menyatu dengan kodrat alam sekitar Jari jemarinya berbau getah hutan Peluh tersentuh angin laut)

Lihatlah ibu Indonesia ( hargailah wanita indonesia yang tidak bercadar) jangan lecehkan mereka karena mereka berbeda dengan keyakinanmu (bahwa wanita harus bercadar) sesuai syariat yang kamu yakini  (Saat penglihatanmu semakin asing) hal ini  Supaya kau dapat mengingat (memahami) Kecantikan asli dari bangsamu (yang berbineka). Oleh karena itu Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif yang diterima (welcoming) hargailah wanita wanita yang tidak bercadar . (Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia)

Penulis memahami baris baris itu sebagai "jejer" (dalam pertunjukan wayang) dimana dalang memaparkan gambaran sebuah negeri, Sukmawati mencoba memaparkan fakta, bahwa ada pihak pihak tertentu (oknum) yang menari batas tegas, tembok pemisah terhadap mereka yang bercadar, kondisi ini jelas membuat Sukma harus bersikap.

Cara cara oknum itu membuat penegasan bahwa sungguh Aku tak tahu syariat Islam (apakah seperti yang oknum oknum itu lakukan) sebab bagi Sukma apa yang diajarkan oleh orang tua kita (ibu) saat anak anaknya berselisih pasti menekankan untuk tidak saling memojokkan tetapi untuk "tetap rukun" jika itu menyangkut makanan misalnya, berbagilah itulah keindahan ajaran hidup di Indonesia
(Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok).

Ajaran ibu Indonesia yang mengajak pada kerukunan, keharmonisan tentu saja bagi Sukma terasa lebih indah dibandingkan dengan ajakan (panggilan, adzan, atau dakwah) yang justru mencoba memaksakan dan tidak menghormati mereka yang berbeda dalam mengejawantahkan syariat Islam itu sendiri  (Lebih merdu dari alunan adzan mu).

Dengan kondisi saling menghargai, saling menghormati, pada akhirnya seluruh gerak hidup kita dapat mewujud atau bernilai sebagai ibadah sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam itu sendiri (wa maa kholaktul Jinna wal insa Illa liya' buduuji), yang dalam puisi Sukma diungkapkan dalam "Gemulai gerak tarinya adalah ibadah. Semurni irama puja kepada Illahi. Nafas doanya berpadu cipta. Helai demi helai benang tertenun.Lelehan demi lelehan damar mengalun. Canting menggores ayat ayat alam surgawi"

Pandanglah Ibu Indonesia (sekali lagi, hargai keberagaman, tegaklah kerukunan dan harmonis, sebagaimana ibu kita, orang tua kita tekankan kepada kita). Hal ini sangat penting mengingat kita semakin kehilangan jati diri dan silau dengan pemahaman pemahaman agama atau isme yang belum tentu sesuai dengan kondisi Indonesia (Saat pandanganmu semakin pudar)

Ajakan Sukmawati dengan puisinya itu adalah agar kita dapat melihat realitas bahwa keberagaman dalam beragama termasuk dalam menjalankan syariat Islam di Indonesia, sejak Islam datang dan didakwahkan di Indonesia sejak abad awal awal Islam (merujuk bukti makam Fatimah binti Maemun di Gresik), para penyeru Islam terutama para wali menggunakan akulturasi budaya sehingga hidup berdampingan secara damai, itulah sesungguhnya keindahan hidup di negeri Surabaya khatulistiwa Sukma menggambarkan "Supaya dapati kemolekan sejati dari bangsamu. Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya."

Itulah pemahaman penulis atas puisi Sukmawati, nah lantas akan hikmahnya bagi kita sebagai umat dakwah ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline