Lihat ke Halaman Asli

Darul Azis

Wirausahawan

Pemberontakan Puisi dan Matinya Koran di Kota Kami

Diperbarui: 22 Desember 2017   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi(SHUTTERSTOCK) | Sumber: Kompas.com

Pemberontakan Puisi dan Matinya Koran di Kota Kami

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.50. Sementara aku masih duduk mematung di depan layar monitor komputerku. Tak ada satu kata pun mampu kutulis. Sepertinya ini hari yang buruk dalam sejarah kepenyairanku.

Tadi pagi, seorang kawan yang bekerja sebagai redaktur sebuah koran lokal meminta aku mengirimkan puisi padanya untuk diterbitkan pada hari Minggu. Aku langsung menyetujuinya karena kupikir aku bisa dan masih punya stok puisi lama yang memang belum pernah kukirimkan ke media massa.

Tapi siang tadi, ketika kulihat dan kubaca lagi, puisi-puisiku memberontak. Mereka tak bersedia kuutus ke media massa biar bisa terbaca oleh ribuan pasang mata. Mereka bilang masih ingin bertapa lebih lama. Kata mereka lagi, orang-orang sekarang sudah malas membaca puisi di koran.

Sudah pukul 00.01 dan aku belum juga menemukan kata untuk kurangkai menjadi puisi.

Hape pintarku berbunyi. Ada pesan WhatsApp masuk. Ternyata dari kawan redaktur yang tadi pagi memesan puisi.

"Puisinya nggak jadi ya. Koran kami sudah mati jam 11.59 tadi."

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.15 dan aku belum memutuskan harus bahagia atau berduka.

(2017)

Jumat

Kau tak pernah berlaku khianat; selalu datang dengan suasana khidmat dan penuh berkat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline