Lihat ke Halaman Asli

''Are You Happy?''

Diperbarui: 6 Januari 2018   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terbang sendiri mencari kebahagiaan (Migrasi Burung di Nagano.Dokumentasi Pribadi)

"Selamat Tahun Baru. Saya bergembira karena bisa merayakan Tahun Baru bersama anda sekalian. Harapan saya, semoga di tahun ini, ada lebih banyak orang bisa hidup tenang dengan hati yang tentram. Memasuki awal tahun ini, saya berdoa untuk kebahagiaan kita dan bangsa2 di dunia."

Itulah kata2 dari Kaisar Jepang dalam acara tahunan setiap awal tahun (tanggal 2 Januari) dari balkoni di chouwaden, di dalam komplek kediaman Kaisar di Tokyo, menyambut masyarakat yang datang ke sana.

Seorang Kaisar sampai berdoa demi kebahagiaan rakyat dan bangsa2. Lalu, kita pun tentunya mempunyai pertanyaan, "Apakah bahagia itu ? Bagaimana kita bisa (merasa) bahagia ?" 

Tiap orang tentu mempunyai ukuran dan parameter sendiri tentang apa yang bisa membuat dirinya menjadi (atau setidaknya merasa) bahagia. Tentunya, ukuran bahagia dari seseorang juga relatif, tidak dapat langsung diterapkan pada orang lain. Artinya, kalau satu orang itu misalnya merasa bahagia ketika dia makan enak (enak menurut definisinya sendiri), belum tentu orang lain bisa merasa bahagia jika dia makan makanan yang sama (disamping rasa "enak" sendiri juga relatif).

Bahagianya anak-anak

Menurut hasil survei yang dirilis tahun 2015 oleh OECD sebagai hasil pengumpulan data dari anak2 usia 15 tahun dalam program yang bernama PISA, dari 47 negara yang menjadi objek pengumpulan data, Republik Dominika dan Meksiko berada urutan paling atas untuk tingkat rasa kebahagiaan yang dirasakan. Hasil ini mengungguli negara2 maju seperti Finlandia, Perancis, Amerika dan lainnya. Jepang sendiri ada pada urutan terburuk 5 besar, sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Korea, Taiwan maupun Hongkong, yang berada di urutan di bawahnya.

Apa yang menjadi alasan anak2 itu merasa bahagia di negara2 yang kita tahu angka kemiskinan dan juga kejahatannya masih tinggi tersebut?

Ternyata, alasannya sederhana saja, seperti juga kita tahu, kebanyakan dari anak2 masih mempunyai pola pikiran yang sederhana. Mereka merasa bahagia karena bisa bersama orang2 yang mereka sayangi dan orang yang bisa mereka percaya, yaitu orang tua maupun juga teman2 di sekelilingnya. 

Hal lain yang menunjang rasa bahagia anak2 itu adalah, tingkah laku dari para orang tua mereka yang selalu menanamkan sikap kepada anak2nya, bahwa kalau ada kesulitan dalam hidup, hadapilah dengan senyum. Kita juga tahu bahwa masyarakat di dua negara tersebut selalu ceria dan sering tertawa lebar (dan sering pula menari dalam tiap kesempatan).

Kebahagiaan memang tidak dapat diukur dengan berapa banyak barang/benda yang kita miliki (yang sifatnya jasmani atau materi), namun ukurannya adalah bagaimana kita bisa merasa puas dan gembira serta bahagia secara psikis (spiritual).

Orang memang selalu mencari dan mendefinisikan apa itu rasa bahagia, terutama ketika kemudian orang tahu bahwa materi melulu tidak membuat orang bisa bahagia. Pencarian definisi dan tentunya menemukan rasa bahagia itu kian giat dilakukan beberapa tahun terakhir, yang paling segar dalam ingatan kita terutama setelah ketika krisis moneter yang melanda dunia akibat bangkrutnya Lehman Brothers Holdings, yang peristiwanya kita kenal dengan istilah Lehman Shock di tahun 2008 yang lalu. Kita bisa belajar dari peristiwa ini bahwa "materi" itu bisa hilang atau lenyap sewaktu-waktu, dan terutama segala kepuasan yang berasal dari "materi" tidaklah kekal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline