Lihat ke Halaman Asli

Damanhuri Ahmad

Bekerja dan beramal

Cerita Kerja Jurnalis dan Guru Mengaji yang Nyaris 24 Jam

Diperbarui: 22 November 2021   10:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskusi lepas para jurnalis daerah di Pariaman. (foto dok damanhuri)

Bekerja di sebuah media dan mengajar mengaji di surau, agaknya sama potensi jam kerjanya. Nyaris 24 jam. Lalu gajinya? Jangan tanya itu. Tak masuk akal dan di luar jangkauan akal sehat orang yang selalu melihat dengan logika.

Sejak awal reformasi hingga saat ini saya bergelut dengan dunia media, belum tercetus untuk alih profesi. Profesi jurnalis enaknya punya banyak jaringan, bebas berekspresi, berkreasi yang sesuai aturan main yang berlaku.

Tidak enaknya, kita sendiri yang memikirkan gaji kita. Kalau pun ada hitungan gaji dari perusahaan, kadang min pada saat perhitungan, lantaran banyak pula uang perusahaan yang termakan lewat iklan dan advertorial yang masuk lewat kita.

Saya berangkat dari bawah. Mulai dari loper merangkap koresponden di SKM Padang Pos 1999-2001. Ini media pertama sekaligus tempat belajar jadi jurnalis, di bawah pimpinan redaksi Basril Basyar.

Padang Pos cukup punya nama ketika awal-awal terbit, dan mewarnai dinamika media di Sumatera Barat. Dari awalnya 16 halaman, meningkat jadi 20 halaman. Punya jangkauan wartawan dan koresponden di seluruh daerah di Sumbar. Ulang tahun perdana media ini, tahun 2000 saya dapat prediket sebagai loper terbaik satu.

Sebagai wartawan pemula, di media ini saya banyak belajar dari wartawan senior. Rapat kerja redaksi yang sesekali diadakan di daerah, di lapangan membuat suasana kekeluargaan tumbuh dan berkembang dengan baik. Apalagi kala itu Basril Basyar yang juga dosen di Unand Padang juga menjabat Sekretaris PWI Sumatera Barat, sehingga laju pengorganisasian berjalan dengan mantap.

Di samping jurnalis yang acap membuat berita, saya juga penulis opini di media ini. Satu kali saya minta hitungan honor tulisan saya ke sekretaris redaksi.

Di kasihnya, lalu saya sodorkan ke bagian keuangan perusahaan. "Pembayaran honor harus ada cc atau persetujuan pimpinan umum," kata bagian keuangan menjawab permintaan saya.

Tentu ini alasan yang tepat, karena media itu pemilik atau pemegang saham terbesarnya adalah seorang pimpinan umum, yang kala itu dijabat Dian Wijaya, seorang tokoh pendidikan di Kota Padang.

Begitu seterusnya, ketika saya pindah media dari Padang Pos ke Semangat Demokrasi, Media Nusantara, Media Sumbar, Publik, Harian Bersama dan akhirnya berlabuh di Singgalang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline