Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

Si Mulut Harimau dan Isyarat dari Masalembu

Diperbarui: 31 Juli 2017   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Darul Hasyim di acara doa bersama (foto: istimewa/DH)

"Atas nama peradaban maka kolonialisme (melalui pemaksaan cantrang) itu bisa dibenarkan?" Darul Hasyim Fath, anggota DPRD Sumenep, daerah pemilihan Masalembu, Jawa Timur.

***

Tiga bulan lalu, di sisi mulut palka kapal cantrang menganga, belasan orang berdiri mengepalkan tangan. Mengenakan kemeja putih lengan panjang berkerah hijau tua, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ikut menebar senyum. Di sampingnya, dengan kamera seluler di tangan kanan, seorang pria ikut mengepalkan tangan kiri; bebaskan cantrang!

Detikcom mengabarkan suasana di Tegal, Jawa Tengah itu dengan kasat. Cak Imin, menyulut sumbu ke arah Pemerintah. "KKP ini pertama kali didirikan (era Pemerintahan) Gus Dur, tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, bukan malah mempersulit dan bikin nelayan susah," kata politisi kawakan asal Jombang itu di hadapan ratusan orang di Tegal, Rabu (26/4/2017). Bersama Cak Imin, ikut pula sang mantan, Marwan Jafar. Orang-orang bersorak.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Daniel Johan ikut nimbrung. Dia mengatakan bahwa larangan penggunaan cantrang adalah masalah besar bagi nelayan karena telah menciptakan pengangguran masif. Sekitar 2,4 juta kepala keluarga terpapar, berdampak pada 12 juta buruh pengolahan ikan. Ada 120 ribu kapal nelayan pribumi tidak diperpanjang izinnya karena aturan itu.

Sampai di sini, asap peristiwa sampai di Istana. Eskalasi penolakan menggelinding melalui demo di Jakarta. Diwarnai oleh muhibah KSP ke kantong-kantong nelayan cantrang di Pantura, Presiden Jokowi lalu memberi instruksi ke Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membolehkan penggunaan cantrang setidaknya hingga akhir Desember 2017.

Perihal pelarangan cantrang

Bulan Juli ini menjadi puncak perlawanan para penghela cantrang sejak keluarnya Peraturan Menteri (Permen) KP No.2/2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik di seluruh Indonesia. Cantrang salah satunya.  Sesungguhnya, Permen titu bukan hal baru sebab Soeharto pun pernah meluluskan permintaan nelayan kecil untuk melarang trawl melalui Kepres No.39/1980. Dilarang karena sifatnya yang serampangan, rakus dan melumat segala yang ada di depannya, kecil besar, induk, anakan.

Memang, KKP saat dikomandoi Freddy Numberi pernah membolehkan penggunaan trawl terbatas di tahun 2008, melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 06/Men/2008 tentang penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara. Tak lama sebab Pemerintah menyadari keliru dan mengeluarkan pelarangan melalui UU No. 45 tahun 2010 tentang Perikanan. Trawl dilarang karena telah terjadi eskalasi konflik yang hebat saat itu.

Pelarangan bermula ketika KKP mencatat bahwa terjadi perkembangan modus trawl dalam varian lain bernama cantrang yang kian masif. Di pesisir Jawa, dalam 10 tahun terakhir terutama di Jawa Tengah misalnya, terjadi peningkatan hingga 100% dalam hampir 10 tahun. Dari 5.100 pada 2007 menjadi 10.758 di 2015.

Di beberapa perairan seperti di Maros, Takalar, Makassar di Sulawesi Selatan, beroperasi varian trawl bernama lampara yang juga ditentang nelayan kecil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline