Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Si Mulut Harimau dan Isyarat dari Masalembu

30 Juli 2017   15:53 Diperbarui: 31 Juli 2017   06:24 2049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Darul Hasyim di acara doa bersama (foto: istimewa/DH)

Organisasi lingkungan WWF-Indonesia juga menunjukkan bahwa persentase udang dan ikan sebagai target tangkapan trawls berkisar antara 18-40% dari total komposisi tangkapan. Sisanya adalah sampingan (bycatch) yang tidak bernilai ekonomis tinggi dan akan dibuang. Ini relevan dengan status eksploitasi sumberdaya ikan menurut versi Menteri Kelautan dan Perikanan aturan No.45/2011 yang menyebut bahwa potensi sumberdaya ikan demersal telah mencapai titik eksploitasi lebih. Salah satu penyebabnya adalah pukat hela. Udang mengalami oversfishing.

Cantrang telah menimbulkan kerusakan lingkungan, menimbulkan konflik sosial karena perebutan wilayah pemanfaatan. Spesifikasi teknis alat tangkap cantrang yang tidak sesuai dengan ketentuan, ukuran mata jaring yang amat rapat hingga ukuran tali ris. Potensi perikanan di sekitar wilayah operasi diperkirakan berkurang hingga 60%, ini dicirikan oleh semakin meluasnya wilayah operasi hingga perairan lintas provinsi, dari perairan Pantura kemudian mencoba merangsek ke Perairan Kalimantan Timur, Masalembu, Natuna bahkan hingga Merauke di Papua.

Perihal trawl dan cantrang

Trawl yang dikenal saat ini dicirikan oleh sebuah kantong besar, tempat terkumpulnya hasil tangkapan yang diikat dengan tali untuk menjaga agar hasil tangkapan tidak mudah lepas. Kantong dihubungkan oleh badan jaring yang menangkap ikan-ikan, menampung jenis ikan-ikan dasar dan udang sebelum masuk ke dalam kantong. Mulutnya didisain selebar mungkin. Serupa mulut harimau yang menganga dan mengaum lebar. Makanya disebut pula pukat harimau.

Trawl pertama kali ke Indonesia atas inisiatif A.M Von Rosendal dan W.C.A Vink pada tahun 1907, keduanya berkebangsaan Belanda. Mereka menggunakan kapal penelitian Gier untuk menguji harapannya atas penggunaan jaring tak biasa ini. Perairan Laut Jawa, Laut Cina Selatan dan bagian Selat Makasar jadi target operasinya. Lalu pada 1940 oleh Dr Westenberg namun tetap tak memuaskan.

Pasca kemerdekaan, melalui Jawatan Perikanan Laut atas tuntunan Meneer E. Schol, pakar trawl dari Belanda kemudian dilakukan riset trawl pada 1950. Disusul tahun 1957 oleh T.H Butler, ahli perikanan dari FAO (PBB) yang hasilnya amat memuaskan. Uji coba dilakukan di perairan Balikpapan dan Kota Baru pada kedalaman sekira 5-25 meter dengan hasil menggembirakan.

Trawl menemukan momentumnya pada tahun 1970. Ketika itu, trawl beroperasi di Perairan Pulau Jawa, Kalimantan, Perairan Indonesia Timur dan Sumatera dengan hasil yang luar biasa. Seiring itu reaksi perlawanan dari nelayan tradisional tersulut. Mereka protes sebab trawl merampas hak-hak nelayan kecil yang ada di pesisir Kalimantan, Jawa hingga Sulawesi. Trawl telah masuk ke wilayah yang selama itu menjadi wahana usaha perikanan nelayan tradisional. Puncaknya tahun 80an sehingga keluarlah aturan dari Pemerintah Soeharto kala itu. Trawl dilarang!

Indonesia memilih jalur dengan mendorong pengelolaan sumber daya kelautan berkelanjutan, melarang beroperasinya trawl melalui Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring Trawls (pukat harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali. Dalam perkembangannya, gairah berusaha perikanan tak padam ketika para pedagang dan nelayan memodifikasi trawl sebagai cantrang, dogol, arad (di Pulau Jawa dan Kalimantan) atau lampara di perairan Sulawesi. Modusnya tetap mengeruk dasar perairan dan dianggap dapat merusak habitat.

Masih segar di ingatan, di awal tahun pada tanggal 10 Januari 2017, satu unit kapal pukat harimau (trawl) milik pengusaha asal Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dibakar nelayan di Pelapis, Kabupaten Ketapang. Nelayan Pelapis kesal, kesepakatan yang telah dibuat untuk tidak menggunakan jaring trawl lagi tak diindahkan pemilik.

Konflik yang sama juga terjadi di Perairan Bengkulu. Nelayan meminta agar ada langkah tegas untuk menindak kapal dengan jaring menyusahkan ini. Upaya menentang jaring serupa trawl ini sesuangguhnya bukan hanya saat ini, pada tahun 90an, di wilayah Indramayu, Tasikmalaya, Pangandaran, Cirebon kerap pula terjadi pembakaran alat tangkap ini karena dianggap merusak mata pencaharian nelayan kecil.

Cantrang yang ada saat ini bentuknya yang seperti kantong jaring dengan dengan dua panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring, tanpa medan jaring atas, bersayap pendek dan tali penghela yang panjang. Ukuran mata jaring yang sungguh tipis menjadi alasan mengapa jaring ini dipersoalkan karena mengambil hingga yang kecil sekalipun. Ukurannya 1,5 inchi dan berlawanan dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2011 bahwa ukuran mata jaring yang diperbolehkan lebih dari 2 inci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun