Lihat ke Halaman Asli

Cristina Balqis

What doesn't kill you only makes you stronger. Except for zombie bites

Mempertanyakan "Autisme" Boni Hargens

Diperbarui: 13 Desember 2016   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber. eramuslim.com

Pengamat politik Boni Hargens kembali membuat kehebohan. Dalam diskusi publik bertajuk “Korupsi dan Kekuasaan: Membaca Sejarah Mengenang Para Sengkuni”, Boni menyerang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia menuding di era SBY, begitu banyak kasus korupsi yang tidak tuntas.  Uniknya, kendati menduga pembiaran korupsi telah berlangsung sejak zaman Orde Baru, lidah Boni seakan patah ketika menyebut isu korupsi yang diduga melibatkan lingkar dalam penguasa hari ini. Tiga kasus korupsi yang saya catat tidak pernah diusik oleh Boni adalah :

[1] Skandal Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI)

SKL BLBI diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Inpres Release and Discharge (Inpres R & D) yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-5 Megawati Sukarno Putri. Akibat SKL BPPN ini debitor BLBI yang sedang disidik mendapat pengampunan sehingga Kejagung terpaksa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3). Pengampunan itu dalam bentuk masalah debitor BLBI dianggap sudah selesai dengan membayar 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Padahal, yang namanya nilai aset sungguh sulit menghitungnya.

Mereka yang memanfaatkan kebijakan ini diantaranya adalah Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan. Dan sebagaimana yang kita ketahui, daftar orang kaya versi Forbes 2014 mencatat dengan kurs 1US$ = Rp 13.000, Sjamsul Nursalim memiliki kekayaan Rp 10,79 triliun dan The Ning King sebesar Rp 8,45 triliun.

Johan Budi semasa menjadi jubir KPK pernah menyebut bahwa SKL BLBI itu bertentangan dengan UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi pasal 4 yang berbunyi : “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”. Intinya pengembalian kerugian negara, bukan berarti si pelaku tidak terkena pasal pidana.

Herannya, Boni tidak pernah mengeluarkan pernyataan dukungan kepada KPK yang dahulu sempat ingin memeriksa Megawati terkait dengan SKL BLBI tersebut. Apa karena PDI-P adalah parpol pendukung utama Jokowi?

Padahal dalam kasus Sjamsul Nursalim, KPK menduga negara dirugikan sebesar Rp 3,8 triliun. Kerugian negara boleh jadi akan lebih besar jika aset-aset konglomerat yang telah menerima SKL BLBI itu ditelisik lebih dalam lagi.

Padahal penelisikan SKL BLBI ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengusut tuntas kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah era reformasi. Sebagaimana disebut Manajer Advokasi-Investigasi FITRA Apung Widadi, kerugian kasus BLBI terus membengkak hingga mencapai Rp 2.000 triliun pada 2015. Jusuf Kalla sendiri mengaku bahwa setiap tahun pemerintah harus membayar Rp 125 triliun untuk menutupi bunga BLBI ke negara-negara yang memberikan pinjaman.

Lantas, mengapa Boni seolah asyik menuding kasus-kasus korupsi di era SBY, tetapi seolah tutup mata atas kasus BLBI? Apa karena inpres R & D yang ditandatangani Megawati tersebut?

[2] Skandal Korupsi Trans Jakarta

Lidah Boni juga seolah patah jika menyangkut skandal korupsi Trans Jakarta. Dalam persidangan, berkali-kali mantan Kadinas Perhubungan DKI Jakarta Pristono menyebut nama Jokowi yang ketika itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Padahal menurut JPU Jakarta Pusat menyebut akibat korupsi ini negara dirugikan sebesar hampir Rp 400 milyar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline