Lihat ke Halaman Asli

Puslatbang KDOD LAN

Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Kontroversi Sertifikasi Pra-Nikah 2020

Diperbarui: 6 Januari 2020   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Presiden Joko Widodo resmi melantik menteri pada periode 2019-2024. Kabinet Indonesia maju merupakan sebutan untuk periode kedua Presiden Jokowi ini. Kabinet Indonesia maju telah dilantik pada 24 Oktober 2019 lalu. Ada beberapa menteri yang sudah mencanangkan perubahan untuk membentuk pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Pelantikan menteri memang telah beberapa waktu yang lalu, namun terdapat hal menarik bagi masyarakat yang mempunyai rencana untuk menikah pada tahun 2020 nanti.

Agenda rangkaian pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan pada tahun 2030 sudah tidak ada lagi angka kematian ibu. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), telah dicanangkan target untuk dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 305 per 100.000 kelahiran hidup mengarah di bawah angka 100 per 100.000 kelahiran hidup pada 2030 (Kompas, 2019). Angka ini merupakan target yang akan dicapai pada tahun 2030 agar dapat menurunkan angka kematian ibu secara signifikan.

Dalam rangka pencapaian tersebut maka revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disahkan oleh presiden. Perubahan tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Disebutkan dalam revisi Undang-Undang yang baru bahwa usia minimal untuk menikah bagi laki-laki yaitu 19 tahun dan usia tersebut juga berlaku bagi perempuan.

Sebelum Undang-Undang tersebut direvisi, batas usia minimal untuk perempuan bisa melangsungkan pernikahan pada usia 16 tahun. Penambahan usia minimal bagi perempuan ini diharapkan dapat mewujudkan kualitas pernikahan yang baik sehingga calon pengantin memiliki mental yang siap menghadapi biduk rumah tangga tanpa berakhir dengan perceraian. Kegiatan preventif yang sedang diwacanakan ini tentunya ingin mengurangi angka pernikahan dibawah umur dan berakhir dengan kehamilan pada usia dini atau kasus perkawinan anak akibat eksploitasi ekonomi.

Dari data yang ada di situs Mahkamah Agung menyebutkan bahwa sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Data tersebut menunjukkan jumlah perceraian pasangan muslim. Sedangkan untuk pasangan non-muslim perceraian dilakukan di pengadilan umum. Pengadilan agama mencatat alasan perceraian beragam mulai dari faktor ekonomi, perselisihan atau pertengkaran dengan pasangan dan pasangan meninggalkan salah satu pihak.

Kementerian koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) merencanakan program sertifikasi perkawinan. Program sertifikasi pra-nikah dikhususkan bagi pasangan yang akan menikah. Inisiatif tersebut dicanangkan dalam program 100 hari kerja Kementerian PMK. Program tersebut rencananya akan mulai diberlakukan pada awal tahun 2020 dan diperuntukkan bagi pasangan yang hendak menikah.

Mereka nantinya diwajibkan untuk mengikuti kelas atau bimbingan pra nikah, supaya mendapat sertifikat yang selanjutnya dijadikan syarat perkawinan. Kebijakan ini berdurasi tiga bulan dengan pembelajaran secara klasikal. Berbeda dengan konsep konseling pranikah yang telah dilakukan oleh KUA (Kantor Urusan Agama).

Tujuan dari konsep yang dijalankan oleh KUA yaitu menjelaskan kewajiban dari suami dan istri serta hak yang diterima. Tak banyak materi yang disampaikan sering kali menimbulkan pemahaman tradisional dalam memperkuat peran suami dan istri. Pemahaman konservatif tersebut tertanam dalam benak pasangan saat menjalani kehidupan berumah tangga. Saat menjalani kehidupan rumah tangga dan menghadapi lika liku kehidupan, tak sedikit pasangan yang sudah menikah lupa akan bagaimana cara menghargai pasangan hidupnya.

Adapun cara untuk mendapatkan sertifikasi pra-nikah yaitu dengan mengikuti bimbingan pra-nikah. Bagi pasangan yang tidak lulus pembekalan program sertifikasi pra-nikah tidak diperbolehkan menikah. Hal itu juga masih dalam proses mempersiapkan dan mematangkan adanya regulasi tersebut. Sertifikasi pra nikah semata mata untuk tujuan kebaikan, pemerintah mencanangkan hal tersebut bertujuan untuk menciptakan generasi SDM yang unggul, sehat dan bebas dari stunting, cacat dan lainnya.

Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 bahkan menemukan bahwa balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta jiwa anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun. Untuk itu, pasangan yang akan menikah diberikan edukasi berupa pengetahuan tentang alat reproduksi, penyakit-penyakit berbahaya yang mungkin terjadi pada pasangan suami istri dan anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline