Lihat ke Halaman Asli

Citra Melati

Perempuan pembelajar

Profesi dan Peradaban Perempuan

Diperbarui: 23 Mei 2021   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto pribadi by citra melati

Kini pendidikan tidak lagi mendiskreditkan perempuan, perempuan bisa mengakses pendidikan luas dan bisa menjadi profesi apapun yang dikehendaki. Mau itu dokter, guru, polwan, dsb. Profesi seharusnya tidak hanya sekedar profesi tapi yang berdampak pada masyarakat.

Pekerjaan seharusnya yang mendidik, memuliakan, dan membebaskan perempuan dari belenggu penindasan. Ibu rumah tangga atau yang berkarir di luar seharusnya melihat bahwa apapun profesi mereka, profesi yang membuat perempuan terdidik dan berkembang secara holistik bagi dari segi sosial, ekonomi, politik, dsb.

Terdidik tidak berarti harus sarjana atau sekolah tinggi formal, paling tidak perempuan tahu dan mau belajar tentang pendidikan, keterampilan hidup, dan mengetahui dunia luar tidak hanya urusan domestik dan lingkup kerja kantor.

Banyak hal di dunia yang mungkin bisa diperbaiki perempuan dari hal kecil-kecil untuk diri sendiri dan sekitar. Jika perempuan hanya terjebak dengan rutinitas yang membuat terlatih karena rutinitas tapi ternyata tidak terdidik yaitu tidak tahu menahu soal dunia luar, hanya dunia lingkup kerja dan rumah saja, maka mungkin perempuan bisa menjadi buta dan tuli. Buta tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada diri sendiri dan dunia,  dan tuli tidak bisa mendengar suara ketimpangan.

Jika perempuan hanya terlatih bekerja seperti robot tanpa adanya kebutuhan batin dan jiwa (terdidik) sebagai pekerja karir atau rumah tangga, akan kosong hanya sekedar bekerja tidak mengetahui dengan kebijakan dunia luar, padahal secara tidak sadar kebijakan luar bisa berdampak kaum perempuan secara personal.

Apabila ada perempuan sekedar bekerja hingga kecapekan mengerjakan pekerjaan fisik di rumah dan masih mengandalkan uang pada suami. Apabila sudah berkarir di luar dan bekerja keras dari pagi sampai malam tapi gaji tidak seberapa tapi menguras mental dan fisik dengan hati dan jiwa kosong. Pikiran dan fisik perempuan seolah terkuras dan terbengkalai, hanya bekerja saja.

Apabila ada perempuan sekedar hidup berfoya-foya, hanya bekerja menghabiskan uang, tanpa ada rasa peduli nasib sesamanya, padahal mungkin saja uang yang dipakai uang hasil korupsi. 

Apabila hanya sekedar bekerja pada orang lain yang penting dapat uang tapi kerja asal-asalan alias gaji buta, seperti memberi pelayanan yang buruk pada masyarakat, karena sering bermain HP serta tidak ada peningkatan kinerja karena sudah nyaman digaji, dsb. 

Pekerjaan yang hanya memperkaya diri, terlihat kaya, meng-influence orang lain hanya soal harta, terutama di sosial media, yang sekarang terjadi pamer harta menjadi sebuah pekerjaan influencer, sehingga yang melihat terlihat miskin. 

Seperti Kutipan Buya Hamka, "Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja.” Apakah kutipan tersebut tampaknya bisa dikaitkan dengan pekerjaan perempuan bila hanya sekedar bekerja dan hidup?

Menyandang profesi tapi ternyata ujung-ujungnya korupsi, merusak lingkungan, pelayanan terhadap masyarakat buruk, memeras uang rakyat miskin, narkoba, fisik dan mental sering jatuh sakit, menipu orang, dsb. Apakah demikian yang diharapkan profesi untuk perempuan? Tentu saja tidak, bukan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline