Lihat ke Halaman Asli

Christo Sylvano

Penerjemah dan Penulis Lepas

Ruang Hitam

Diperbarui: 24 Agustus 2023   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Alina Ananko: https://www.pexels.com/photo/empty-office-hallway-2294135/ 

Langkahku terhenti di ujung lorong. Dari kejauhan aku bisa melihat ruangan itu. Berdiri kokoh di bawah remang cahaya lampu. Sementara itu, hujan diluar sana tumpah semakin keras, membawa angin kencang yang mampu menerbangkan butirannya ke jendela gedung Rektorat ini. Untungnya suara hujan tak sampai ke dalam, tetapi justru ini yang membuatku bergidik ngeri. Aku sendirian ditemani oleh keheningan saja.

"Pak, temanin ya. Ntar saya belikan rokok dua bungkus. " pintaku pada pak Surya, satpam senior kampus yang ku kenal dengan baik, lima menit yang lalu sambil mengacungkan dua jari padanya.

Dia tertawa sebentar hingga memperlihatkan giginya yang sudah tanggal sebagian, "Maaf, mas Adi. Kalau ke lantai yang lain saya berani, tapi kalau kesana..." dia mendongakkan kepalanya sesaat ke atas, memperhatikan lantai paling atas, tak berapa lama pandangannya kembali padaku. "Maaf saya nggak berani, mas." pungkasnya sembari menghisap rokok kretek yang baunya menguar di udara.

Aku lalu mengalihkan pandanganku ke seorang satpam muda yang berada di sebelahnya, "Kamu, Wir? temanin ya, ntar kubelikan kuota satu bulan deh." tanyaku pada Wira yang sedang bermain game ponsel.

"Waduh, mas. Pak Surya aja nggak berani apalagi aku." jawab Wira tanpa melepaskan pandangannya dari ponsel.

"Yaelah, sebentar aja, Wir. Aku cuma ngambil berkas aja, kok."

Perkataan itu membuat Wira menatapku, "Nggak besok aja, mas? Udah jam 10 malam, lho. Kantornya nggak kemana-mana, kok"

"Kalau bisa besok, bakalan kuambil besok, Wir. Cuma pak Ruslan perlu berkasnya malam ini dan harus diantar juga malam ini ke rumahnya."

Tak satu pun keluhan dan bujukan yang sanggup menggoyahkan keputusan mereka. Mereka memilih tetap berada di lobby Rektorat, mengobrol dan menonton video di ponsel. Aku pun tak punya pilihan selain menyusuri anak tangga sendirian menuju ke lantai paling atas. Lambat laun, suara obrolan mereka dan bisingnya suara video mulai menghilang.

Buka pintu. Ambil berkas. Lari ke bawah. Aku membatin, semuanya bisa kulakukan dalam lima menit. Aku menarik nafas panjang lalu berjalan cepat ke ruangan kantor yang berada di dekat sebuah ruangan misterius bernama Ruang Hitam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline