Lihat ke Halaman Asli

Hamdani

TERVERIFIKASI

Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Akankah Polarisasi Itu Terus Berlanjut?

Diperbarui: 1 Juli 2019   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi polarisasi politik (sindonews.com)

Paska keluarnya keputusan Mahkamah Kontitusi (MK) tentang sengketa pilpres 2019 seminggu lalu telah mengubah dinamika politik tanah air dan menampilkan wajah baru formulasi koalisi dan oposisi.

Kepastian secara hukum kemenangan Jokowi dan KH. Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih periode 2019-2024 pun telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemarin, Minggu, 30/6/2019.

Namun sengketa pemilu secara politik ternyata belum usai meskipun palu hakim MK sudah diketuk bagi Jokowi-Ma'ruf. Walau Prabowo-Sandi tidak melanjutkan tuntutan hukum ke tingkat lebih tinggi yaitu Mahkamah Internasional tapi "perlawanan" kubu ini belum selesai.

Rencana rekonsiliasi yang diwacanakan oleh pihak petahana pun tak kunjung terwujud karena berbagai kendala politik antara dua tokoh tersebut. Ketika ditanya ke Jokowi, ia katakan silakan tanyakan ke Prabowo Subianto. Sementara itu, sang mantan jenderal itu pun enggan menemui Jokowi sebab momentumnya belum tepat.

Akan tetapi sebenarnya momentum pertemuan dua politisi itu sangat tepat bila tidak dalam suasana politik. Sehingga bila kemarin Prabowo-Sandi tidak hadir di acara penetapan Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang pilpres oleh KPU sudah tepat. Namun jangan sampai ketidakhadiran mereka dibaca sebagai kebencian terhadap Jokowi.

Terlepas dari siapa menang dan kalah. Fenomena pecah belah ternyata masih terus berlangsung. Penolakan Cak Imin dan PKB terhadap kehadiran anggota koalisi baru Jokowi menandakan belum mencairnya semangat elit partai untuk rekonsiliasi.

Gejala tersebut merupakan upaya elit koalisi Jokowi untuk menghadang mantan sekutu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menikmati kekuasaan walau hanya katakanlah satu kursi menteri. Ironisnya setelah koalisi 02 dibubarkan mereka tidak malu-malu merapat ke Jokowi walau cenderung ditolak.

Polarisasi kian kentara terlihat mana kala Wasekjend Partai Demokrat Andi Arief mengeluarkan kalimat tidak etik dengan mengatakan ada dua partai yang terkucil. Maksud Andi Arief barangkali jika Demokrat tidak masuk ke istana maka akan menjadi partai yang terkucil.

Pernyataan Andi Arief tersebut merupakan bentuk polarisasi politik pada tingkat partai. Dia menunjukkan kepada publik partai yang tidak ikut dalam pemerintahan lalu akan terisolasi. Dan lebih mengkuatirkan lagi bila Andi Arief menganggap oposisi sebagai musuh politik negara.

Padahal seorang tokoh politik nasional mengatakan baik didalam maupun diluar pemerintahan sama mulianya bila itu memperjuangkannya kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Lalu jika itu semangat yang diusung oleh sebagai partai politik untuk tetap bertahan diluar pemerintahan, mengapa harus harus ada yang terkucil? Mestinya mereka terhormat.

Sejatinya Andi Arief tidak perlu bersusah payah untuk menciptakan berbagai statement politik kontroversi ketika MK telah berusaha meredam semua ganjang-ganjing pilpres yang telah menguras energi besar. Selayaknya Andi Arief berterima kasih seperti AHY ucapkan untuk Prabowo-Sandi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline