Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

COVID-19, Politik, Utang Negara dan Isu Terorisme

Diperbarui: 1 Agustus 2021   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deskripsi, Indonesia hari ini (Dok Fahri)

TIDAK dapat dinafikkan bahwa situasi sosial kita di Indonesia akhir-akhir terbalik 87%. Bagaimana tidak, sebelum pandemi COVID-19, masyarakat yang terbiasa melakukan pertemuan dengan jumlah banyak, berkerumun, bahkan pesta pora, di era ini tidak ada lagi. Jikalaupun ada, mungkin mereka yang 'gila'. Atau bisa juga orang-orang kebal hukum.

Perhatian pemerintah untuk memutus mata rantai COVID-19, massif dilakukan. Mulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dilakukan pemerintah. Setelah ini, apalagi?. Kemungkinan, cerita penularan COVID-19 ini berlanjut. Ceritanya berepisode, dari sesi satu, sampai sesi selanjutnya.

Tidak main-main, anggaran yang tersedot untuk penanggulangan COVID-19 juga tidak sedikit. Totalnya Rp 695,2 Trilian, biaya penanggulangan COVID-19 yang inklud dengan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Luar biasa, efeknya pembangunan infrastruktur dipending. Ada pula program refocusing dan alokasi anggaran.

Beberapa pakar dan pengamat ekonomi juga menyebut, nyaris ambruk keuangan negara kita. Hanya saja pemerintah tidak terbuka. konstruksi pendapatan ekonomi Indonesia seperti lebih besar pasak daripada tiang. Artinya, kalau diakumulasikan total hutang Indonesia, sangat menumpuk. Buanyak utang kita sampai-sampai akan diwariskan kepada generasi mendatang.

Sedih, utang kok diwariskan. Tapi begitulah realitasnya. Utang pemerintah, tetap saja menjadi beban rakyat. Kita rakyat kecil beranggapan harusnya yang diwariskan pemerintah adalah prestasi dan karya gemilang. COVID-19 disatu sisi dapat dibilang menolong pemerintah yang lagi kambuh sakitnya seperti Indonesia.

Kekuatan COVID-19 dahsyat, terbukti dapat memukul ragam dimensi kehidupan rakyat. Walau begitu, COVID-19 masih dikalahkan power politik. Terbukti dengan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Padahal, di massa itu pembatasan dilakukan di rumah-rumah ibadah. Hampir semua rumah ibadah di daerah-daerah di tutup. Ironisnya, Pilkada dilaksanakan.

Apakah karena utang negara meningkat, sehingga perjalanan pemerintah mengalami 'stumbling' atau terseok-seok. Lalu dalam momentum bersamaan COVID-19 datang sebagai penyakit global-transnasional. Rakyat akhirnya disibukkan dengan perintah stay at home, menghindari kerumunan dan work from home.

Dilain pihak, isu terorisme juga meredup. Isu ini dalam kecurigaan saya ternyata dapat dikalahkan COVID-19. Berarti, bisa menjadi benar sinyalemen beberapa aktivis bahwa isu-isu semacam terorisme ini merupakan skeanrio pemerintah. Para teroris juga takut terhadap COVID-19.

Dinamika sosial secara universal juga mengisyaratkan bahwa COVID-19 dalam operasinya punya kecenderungan ganda. Terbukti dengan penerapan PPKM Darurat hanya dilakukan di malam hari. Gimana ceritanya mau selesai penularan COVID-19, jika penertiban atau penerapan disiplin hanya dilakukan di malam hari. Kemudian, siang harinya aktivitas masyarakat tetap mencair berkerumun.

Jangan sampai upaya memutus mata rantai COVID-19 seperti membuang garam di laut. Begitu pula dengan case, mulai angkat kakinya sejumlah TKA China dari Indonesia. Tidak ada pengaruhnya menurut saja sebagai rakyat awam, kalau mau tegas sejak awal COVID-19 menghadang TKA tidak diizinkan datang ke Indonesia.

Kenapa diawal pemerintah melonggarkan, namun setelah sekarang barulah mereka balik ke Negara masing-masing?. Ada yang janggal. Kondisi inilah yang membuat Rocky Gerung berceloteh, bahwa jangan-jangan TKA sudah meninggalkan atau menyebarkan Intelijennya di Indonesia untuk memata-matai gerak rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline