Lihat ke Halaman Asli

Bugi Kabul Sumirat

TERVERIFIKASI

author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

Lihatlah Apa Yang Disampaikan dan Janganlah Melihat Siapa Yang Menyampaikan

Diperbarui: 28 April 2021   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (dok: risalahislam.com)

Aku kok suka sekali ya nasihat ini: 'Lihatlah apa yang disampaikan dan janganlah melihat siapa yang menyampaikan'

Dahulu saya kira ungkapan yang paling saya sukai ini adalah merupakan hadist:   unzur maa qaala wa laa tanzur man qaala.  Belakangan barulah saya pahami bahwa ungkapan tersebut bukanlah dari hadist (ucapan/perilaku yang bersumberkan dari Rasulullah SAW), melainkan sebuah peribahasa bangsa Arab.

Arti dari ungkapan itu adalah 'lihatlah apa yang disampaikan dan janganlah melihat siapa yang menyampaikannya'. Di bulan Ramadan yang suci inipun, peribahasa itu menjadi pegangan saya yang paling ingat. Mengapa?

Hal ini dikarenakan di bulan Ramadan ini sikonnya (situasi dan kondisinya) sangat kondusif, sama dan sebangun dengan luar biasanya peredaran informasi. Informasi-informasi yang saya maksud tersebut, diantaranya dalam bentuk ceramah-ceramah agama (Islam).

Ceramah-ceramah itu muncul berlimpah, dapat dijumpai mulai  dari selepas waktu zuhur, menjelang berbuka, setelah salat Isya sebelum Tarawih, setelah salat Subuh, di radio, televisi, youtube, podcast, facebook, acara-acara bukber (buka bersama), dan lain sebagainya. Jumlahnya meningkat luar biasa. Anda tinggal pilih, mau mendengarkan yang mana dan dimana.

Lalu, melimpah ruahnya informasi-informasi yang berseliweran dalam bentuk ceramah-ceramah  itu signifikan dengan kualitas isi atau konten yang disampaikanny? Apakah ceramah-ceramah itu benar-benar berisi murni ajaran-ajaran atau nasihat-nasihat keagamaan dan merupakan ceramah yang 'layak' didengar serta diambil isinya? Apakah semua ceramah-ceramah itu merupakan ceramah keagamaan?

Nah, disinilah fungsi penting peribahasa yang saya sebut di atas itu. Fungsi peribahasa tersebut menjadi  filter atau saringan terhadap derasnya informasi yang kita dapat dalam ceramah-ceramah itu.

Peribahasa ini menurut saya, sangat dalam maknanya. Dalam memaknai peribahasa ini, kita diminta untuk melakukan penyaringan terhadap hal-hal atau informasi-informasi yang kita terima.

Disini kita harus menjadi pribadi yang 'cerdas' lahir dan batin. Dengan kecerdasan yang kita miliki itulah, kita menampung hanya hal-hal yang berharga dan bermanfaat bagi kita.

Penampilan boleh kita sebut penampilan yang sepertinya Islami, lalu berceramah di momen yang kita sebut sebagai momen yang Islami pula (di salah satu momen seperti yang telah saya sebutkan di atas) tapi momen itu ternyata tidak serta-merta otomatis dapat kita anggap ceramah yang Islami. Bahkan mungkin masuk kategori sebaliknya.

Ceramah tersebut menjadi ceramah yang tidak perlu didengar. Karena ternyata berisi informasi-informasi yang berisi keburukan, seperti misalnya mengajak kepada kebencian, provokatif, mencaci-maki pemerintah, menjelek-jelekkan agama lain, mengkafir-kafirkan sesama muslim dan keburukan-keburukan lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline