Lihat ke Halaman Asli

Angga Setiawan

Mahasiswa UKWMS

Telaah Kritis Nilai Kebebasan, Ditinjau dari Kritik Agamben terhadap Negara Demokratis

Diperbarui: 20 Mei 2020   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kebebebasan menjadi andaian utama manusia ketika berhadapan dengan orang lain dalam ide-ide liberalisme. Hal ini terkonsep dalam gagasan politik liberalisme yaitu demokrasi. Demokrasi menjadi hal yang dianggap baik karena ia memberikan perlindungan terhadap manusia, perlindungan terhadap hak-hak individu serta kebebasan, sebuah nilai yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh penjuru negeri dan orang akan selalu takut kehilangannya. 

Pertanyaannya, benarkan sampai sekarang kita bebas, atau setidaknya bagaimana nilai tentang kebebasan ini terbukti dalam sebuah konstruk sosial negara demokratis? Dan mungkinkah nilai kebebasan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah potensialitas in se daripada impotensi?

Sebelum melangkah pada pembuktian konkrit melalui liberalisme dan model negara demokrasi, perlu dilayangkan sebuah argumen bahwa nilai---khususnya kebebasan---tak mungkin tampil dengan sendirinya tanpa ada relasi yang khas dari sebuah subyek dan obyek/subyek lain. 

Marx, melalui doktrin relasi internal, berpendapat bahwa suatu nilai yang universal dapat terlihat hanya bila terdapat relasi antara yang partikular. Kebebasan tak mungkin dapat kita rasakan bila kita tak hidup dalam lingkungan sosial tertentu. 

Bagaimana mungkin seseorang dapat bebas bila ia sendiri, atau bagaimana mungkin ide tentang kebebasan yang membentuk lingkungan sosial demokratis bila tak melalui sebuah situasi non-demokratis? 

Artinya, dalam kondisi tertentu, nilai dapat dikatakan sebagai sebuah potensialitas dari materi yang saling terkait. Jelas hal tersebut mengandaikan ada gerak. Revolusi tak mungkin terjadi bila hanya terus diimpikan, begitu pula dengan kebebasan dan demokrasi(?).

Pertama-tama, prinsip mendasar dari bentuk demokrasi adalah separasi kekuasaan, yang terbadi dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 

Tujuannya, supaya masing-masing darinya dapat saling mengawasi satu sama lain (check and balance). Hal ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan kekuasaan dan tidak terjadi over power oleh penguasa---yang tentu akan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan hingga penguasa yang otoriter. 

Di dalam negara yang paling liberal sekalipun akan mengklaim bahwa mereka telah memegang teguh prinsip ini. Namun, nyatanya masih banyak negara yang mengklaim diri mereka liberal justru menunjukkan kasus penyimpangan pada corpus politik-nya. Penyelewengan demokrasi ini kemudian dijelaskan oleh Giorgio Agamben dalam teorinya tentang sovereign-power (kekuasaan berdaulat) dan state of exception (keadaan darurat).

Kenyataannya, yang diungkap oleh Agamben adalah bahwa negara demokrasi atau sistem demokrasi memiliki kontradiksi internal. Dalam demokrasi sendiri justru terselubung praktik-praktik kekerasan, dominasi, pemaksaan, normalitas wacana, yang dilakukan oleh institusi-institusi politik di dalamnya. 

Kekuasaan berdaulat menjelma menjadi Sang Politis (The Politics), sosok yang mampu memaksakan hukum kepada semua orang sekaligus menangguhkannya. Sang Politis ini menjadi yang berdaulat, merasuki seluruh sistem dan mekanisme di dalamnya dengan syarat kedaruratan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline