Lihat ke Halaman Asli

Budi Harsoni

Guru Biasa

Diplomasi Gula: Penyambung Lidah Desa-Kota

Diperbarui: 25 Januari 2022   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Kaditu ka kawung anu ngaruyuk, ka jambe anu ngajajar, tah si jelma hideung".

Konon, dalam tradisi lisan yang masih hidup hingga sekarang di wilayah adat Kasepuhan Banten Kidul, daerah yang banyak ditumbuhi pohon aren adalah salah satu tempat ideal yang dituju sebagai wilayah permukiman. 

Dahulu kala, komunitas adat ini dikenal sebagai masyarakat yang berpindah-pindah sebelum benar-benar menemukan lokasi yang tepat, sebagai tempat permukiman mereka untuk menetap secara turun temurun. 

Jika diartikan dengan bebas kalimat di atas, maka berbunyi: "pergilah ke tempat dimana pohon-pohon aren tumbuh membelukar, ke tempat pohon-pohon pinang berjajar, itulah tempatnya orang-orang yang pandai hidup di alam".

Masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul menjalani hidupnya berdasarkan tatali paranti karuhun, atau aturan adat yang telah ditetapkan sejak nenek moyang mereka, dan dilaksanakan dengan patuh dan taat sebagai tradisi yang tetap dijaga. Salah satu aturannya adalah pantangan, sesuatu yang tidak boleh dilaksanakan atau dikerjakan oleh incu-putu atau anak-cucu. 

Secara geografis, sebagian besar masyarakat adat Kesepuhan Banten Kidul menempati sekitar wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Menjalani hidupnya dengan bertani di ladang atau huma. Padi yang dihasilkannya pun tidak boleh dijual, karena kepercayaan demi memuliakan Dewi Sri (Dewi Padi) atau Nyi Pohaci. Menjualnya, berarti tidak memuliakan apa yang mereka percayai.

Masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul memang tidak boleh (pantangan) menjual hasil padi, baik padi sawah maupun padi huma (ladang). Jika pun akan dijual, ada ritual khusus yang harus dilaksanakan. 

Namun demikian, hasil alam dan pertanian yang lainnya dapat dijual dan dijadikan pendapatan, termasuk hasil peternakan. Jika hasil tanaman rempah-rempah dan buah-buahan harus menunggu panen yang memakan waktu berbulan-bulan, maka penjualan gula aren dapat menjadi penghasilan harian. 

Selain itu, membuat gula aren seakan menjadi rutinitas, bagian dari aktivitas berladang. Para petani pergi ke ladang membawa bumbung bambu (tempat air terbuat dari bambu) untuk mengambil air nira dari pohon aren. Sebelum mengerjakan ladang, bumbung bambu diletakkan di atas pohon aren di bawah langari atau dahan aren tempat tumbuh buah kolang-kaling. Sampai penuh dan ketika sore harinya, pulang membawa air nira yang kemudian diolah menjadi gula aren di malam hari dan siap dijual pada pagi hari.

Pohon aren adalah sejenis tanaman termasuk jenis keluarga (arecaceae) palmae. Tanaman aren memiliki nama Latin Arenga Pinnata Merr. Sejarah aren berasal dari dataran Asia yang beriklim tropis (Sumber: Wikipedia). Fungsi dan kegunaan tanaman ini untuk dijadikan tanaman komersial karena setiap bagiannya dapat dimanfaatkan. 

Sebagai contoh, air nira dapat dijadikan gula merah atau gula aren, buahnya (caruluk) dijadikan kolang-kaling, daunnya untuk atap rumah, serabut berwarna hitam dapat dijadikan ijuk, tali pengikat, sapu dan lain-lain. Selain itu, pohon aren dapat dijadikan tanaman herbal yang mempunyai banyak manfaat kesehatan bagi tubuh, yaitu sebagai obat batu ginjal, sariawan, radang paru-paru, deman, sakit perut, sulit buang air besar, ruam kulit dan lain-lain. Semua itu tentunya apabila dapat diolah dengan benar menurut ahlinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline