Lihat ke Halaman Asli

Angra Bramagara

Orang Biasa

Prof, Pasal Penghinaan Bisa Buat Rakyat Ini Beretika

Diperbarui: 6 Agustus 2015   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada isu baru, yaitu rencana masuknya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden pada RUU KUHP. Hina menghina itu bisa dikatakan subjektif, tergantung pada persepsi seseorang. Ada yang mengatakan bahwa sesuatu itu termasuk kategori hinaan namun bagi orang lain itu bukan hinaan. Sama halnya dengan pasal pencemaran nama baik yang masih terpasang pada undang-undang kita hingga saat ini. Tanpa ada penjelasan secara detail hingga ukuran "satuan" terkecil, maka pasal-pasal seperti ini akan menjadi pasal karet. Bak karet yang bisa dilebarkan, dimelarkan kesana kesini tergantung keinginan seseorang.

Sebenarnya hina menghina ini tidak perlu "ditegaskan" secara tertulis pada undang-undang kita. Karena hukum tersebut sebenarnya sudah terpatri dalam jiwa kita sebagai orang timur yang tercermin dalam budaya serta hukum adat yang ada di indonesia, bahkan hukum agama yang dianut oleh masyarakat kita bahwa setiap orang wajib menghormati dan tidak boleh menghina orang yang lebih tua apalagi pemimpin kita siapa pun dia. 

Namun tampaknya semakin ke sini etika kita sebagai orang Indonesia sudah luntur. Sering kita dengar orang-orang mulai berani menghina para pemimpinnya. Jangankan orang dewasa bahkan anak SD pun kini sudah berani mengina para pejabat negara yang notabene adalah pemimpin mereka, bahkan tidak jarang anak SD sudah mulai berani menghina gurunya sendiri, bahkan mungkin orang tuanya sendiri. Definisi bentuk hinaan di sini saya persepsikan seperti mengata-ngatain seseorang dengan sebutan binatang, merendahkan karakter pada diri seseorang, mengata-ngatain fisik seseorang.

Prof Jimly menyatakan bahwa pasal penghinaan merupakan bentuk kemunduran dalam era demokrasi dan peradaban. Barangkali profesor Jimly mendefinisikan penghinaan itu adalah tidak bisa mengkritik presiden dan wakil presiden, tidak bisa mengeluarkan pendapat yang memojok kan kebijakan pemerintah seperti halnya apa yang terjadi pada era orde baru. Namun menurut saya bukan itu definisi penghinaan. Menghina itu saya kira identik dengan pribadi seseorang, sedangkan mengkritik saya kira identik dengan produk yang dihasilkan seseorang jika dalam konteks kepemimpinan maka produk itu terkait pada kebijakan yang dibuatnya. Yang kira kritik itu produknya, bukan orangnya.  

Semakin tidak beretikanya kita terhadap para pemimpin kita, salah satunya dengan menghina para pemimpin kita, maka kemunduran bangsa ini akan benar-benar terjadi. kemunduran peradaban yang seperti pak profesor Jimly katakan akan benar-benar terjadi jika pasal penghinaan itu tidak segera dipasangkan pada undang-undang kita, karena saat ini kita perlu mengembalikan etika para rakyat kita terhadap para pemimpinnya.

Untuk kondisi seperti saat ini pada bangsa kita, dimana aturan yang tertulis saja banyak yang dilanggar oleh rakyat kita, apalagi jika aturan tersebut tidak dituliskan. Namun, ketika aturan tersebut sudah tertulis maka penegakan bisa dilakukan, tergantung komitmen dari sang penegak hukum, tapi ketika aturan tersebut tidak dituliskan maka tidak bisa dilakukan penegakan secara hukum.

Sehingga ketika etika rakyat terhadap pemimpin yang seharusnya tidak perlu dituliskan itu semakin luntur pada masyarakat kita maka alangkah baiknya etika itu harus dituliskan dalam wadah aturan hukum sampai etika rakyat kita sudah benar-benar kembali mantap. Bukankah ketika anak kita yang sudah waktunya sholat yang seharusnua itu muncul dalam dirinya sendiri, namun tidak juga mau walaupun sudah diperingatkan maka kita bisa menegaskan anak kita itu dengan lidi?

Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa bagi saya pasal penghinaan ini silakan dipasangkan asalkan jelas definisinya hingga satuan terkecil, agar tidak ada lagi pasal karet. Definisi penghinaan bukanlah pengkritikan, karena kalau kritik itu bagi saya adalah ketika kita mengkoreksi kebijakan seseorang atau prilaku seseorang, bukan menyinggung ranah pribadi yang melekat pada diri seseorang tersebut. Kalau sudah menyinggung kekurangan (menurut pandangan kita) yang sudah melekat pada diri seseorang menurut saya itu sudah masuk kategori hinaan.  

         




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline