Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Mendung

Diperbarui: 20 Oktober 2018   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

seperti di hati ia. mendung itu. mengapung. diam.
kelabu. bergugusgugus. berhimpit. kelam.
kudengar, di ronggadada, ada yang menjerit. lalu senyap. lebam.
"ke sini, sayang," bisikku. pelahan ia mendekat. dengan muram.

untuknya kupungut bunga kembangsepatu. kuning.
ia tersenyum. sebentar kulihat sepasang bolamatanya mengerjab. bening.
"aku ingin juga ingin yang merah itu," katanya. suaranya bagai berkelining.
"jangan sekarang," kataku. "tunggu kapan gugur. agar hening berdenting."

lalu kami bicara tentang warna hujan.
mengenai harapan.
"aku mencintaimu," katanya tibatiba.
udara mendadak mengental. seperti mengandung tuba.

"apakah kucintai membuatmu sedih?
apakah ini kali melulu merindukanku tak terasa perih?" tanyanya lirih.
aku menggeleng. tipis. entah untuk pertanyaan mana. kulihat mendung menyerpih.
"ayolah," kataku. "jangan bicara soal perasaan. kalau terluka sulit pulih."

ia tertawa. bahkan sesudahnya tergelak pula. mendung masih menggelantung.
seperti terkesiap, entah dari mana, angin berkesiur.
ia mulai melangkah. mencipta jarak. menunduk. mungkin dengan murung.
satu demi satu, pelahan, helaihelai kembangsepatu kuning itu ia remas hancur.

"hai!" teriakku. "hendak ke mana lagikah engkau?
padahal sebentar lagi hujan pasti turun."
"ke risau," jawabnya. suaranya terdengar keras. "menjauh dari pisau."
lalu dahandahan dan dedaun bergetar. meluruhkan embun.

mengekalkan mendung
......




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline