Lihat ke Halaman Asli

Rancangan Penataan, Sebuah Pemikiran (6, Sambungan)

Diperbarui: 18 April 2018   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keberadaan ritual/pengajaran agama yang digunakan untuk "mengobati"/mengimbangi suatu rasa yang timbul di dalam pikiran manusia, sebetulnya tidak mengada semata disebabkan karena timbulnya sebuah peperangan. Ritual/pengajaran itu diprediksi ... muncul ketika umat manusia pada suatu masa ... mulai memahami konsep kehidupan dan kematian. Ia juga telah memahami akan rasa cinta dan sayang, sedih (ketika ditinggalkan yang dicintai/disayangi). Tetapi tentunya ritual/pengajaran pada saat itu belumlah sekompleks seperti yang kita ketahui pada saat ini. Sama seperti halnya dengan keberadaan pesta yang dikemukakan sebelumnya, ritual yang ada lebih bersifat sebagai sebuah tindakan eksresif terkait rasa yang ia alami saat itu. Jejak sejarah mengenai  ini mungkin dapat dilihat pada upacara adat yang melibatkan acara menangis pada budaya/tradisi kuno manusia yang hidup di Cina. Dan seingat saya juga mengada di bagian dunia yang lain, meski saya tidak mengingat secara tepat dimana wilayahnya.

Itu kemudian berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (dan pemikiran yang dimiliki oleh manusia karenanya), termasuk dalam hal ritual pengobatan, yang mana itu mungkin dilakukan untuk menetralisir rasa sakit yang dialami si penderita. Dimana berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang tidak sepenuhnya diketahui oleh semua manusia saat itu, maka kemudian timbullah ungkapan mistis terkait berbagai ritual yang dilakukan. Kita kemudian biasa mengenal hal tersebut sebagai aliran/ajaran shamanisme.

Terkait dengan rasa derita yang dapat dialami oleh seorang manusia, yang bukan saja berasal dari peperangan, rumus (-X) + X = 0 tidak begitu saja dengan mudah bagi kita untuk menghindari pemakaiannya. Namun, patutlah kita perhatikan, agar kita tidak menggunakannya untuk jenis kasus yang itu (peperangan).

Di pihak lain ...

Bila kita amati dari apa yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai keberadaan "ritual" yang dikemukakan, tidakkah terlihat bahwa itu merupakan dualisme yang ada dan dapat dialami oleh manusia selama hidupnya di dunia ini. Bicara mengenai ritual/perayaan/syukuran kelahiran anak, perkawinan, panen melimpah, kita sedang melihat kehidupan ini dari sisi suka/gembira. Sedangkan dari ritual terkait kematian dan penyakit, kita memandang sisi duka/derita.

"Dua sisi dari sebuah mata uang yang sama".

Dimana kiranya apa yang ada di sebuah sisi, tidak dipandang layaknya "musuh abadi" dan kemudian layak diperangi mati-matian. Dan kiranya tidak juga yang di satu sisi mengatakan bahwa apa yang ada disana, lebih baik dari sisi satunya. 

Terkait itu mungkin ada pihak yang memandang dari sudut yang berbeda dan kemudian mengembangkan pemikiran itu, kemudian berujar "no pain, no gain", terkait dengan bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh manusia selama hidup (terkait kondisi suatu wilayah). Namun tentunya itu tidak menjadikan seseorang menjadi sembrono dalam melakukan upaya tersebut (terkait dengan kondisi alam lingkungan). Karena itu nanti bisa menjadi "no gain, only pain", dimana yang merasakan bukan hanya diri sendiri tetapi juga generasi berikutnya. 

Bersambung ...

Peeeace 4 all




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline