Lihat ke Halaman Asli

Maiyah Kenduri Cinta: Puasa, Pause?

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jum’at malam (10/08/12) saya akhirnya bisa menghadiri maiyah Kenduri Cinta (KC) yang rutin dilaksanakan setiap Jum’at malam Sabtu di minggu kedua setiap bulannya. Setelah bulan Juli lalu saya absen tidak bisa menghadiri dan sempat “nyesel” karena menurut teman yang hadir bahwa ada Sudjiwo Tejo yang hadir menjadi pembicara. Jum’at yang cukup padat karena sejak siang saya harus memberikan khutbah Jum’at lalu kembali ke sekolah untuk mengajar. Selepas ashar bertolak ke RM. Katineung menghadiri diskusi internet sehat + NgabuburIT bareng blogger bekasi dan akhirnya setelah taraweh saya pun langsung berangkat ke Taman Ismail Marzuki (TIM), tempat maiyah KC rutin dilaksanakan. Disanapun saya janjian ketemu bersama 3 orang teman yang rutin ikut dan sama-sama “membutuhkan” pemikiran-pemikiran segar dari Emha Ainun Najib yang akrab disapa Cak Nun sebagai Pembina KC.

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: dapur kenduri cinta"][/caption] Meski tiba di TIM agak telat karena sebelumnya harus meeting panitia zakat akhirnya tiba pukul 21.30. Setelah parkir saya langsung mencari posisi yang enak dan tak lupa membeli cemilan (gorengan, kacang rebus) beserta kopi. Tak lama setelah duduk sambil mendengarkan beberapa orang menyampaikan prolog di panggung tentang puasa yang tak jauh dari intepretasi ayat tentang perintah puasa. Bahwa puasa adalah “pause”, menahan sejenak segala yang asalnya dibolehkan namun menjadi haram untuk beberapa bagian pada beberapa waktu di bulan Ramadhan. Nampak dari sudut panggung kang Cak Nun baru tiba bersama beberapa narasumber, diantaranya yang saya pernah dengar namanya ada mas Iswan yang sedang studi di Canada, Syekh Nursamad, Pak Tjuk, Cak Dil. Tak ketinggalan pula seniman-seniman dari arus musik ada Es Coret dan mas Beben bersama isterinya Inna Kamarie yang sering tampil di Java Jazz kali ini tampil di KC.

Seperti KC tiap bulannya, para jama’ah semakin malam semakin ramai datang. Terlebih ketika Cak Nun sudah datang dan memberikan prolognya maka semua jama’ah pun akan hening menyimak prolog dari Cak Nun. Memang pola pikir atau pemikiran Cak Nun seringkali menampar pemikiran saya yang lebih sering bersumber dari maenstreem, ucap mas Iswan saat berkesempatan berbicara mengenai kehidupan di Canada. Cak Nun selalu memberikan wawasan baru dari sudut pandang yang berbeda yang kesemuanya itu tak lepas dari konteks budaya dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam perjalanan diskusi malam ini konteks puasa dengan tujuan “la’allakum tattaqun” dikorelasikan dan dibawa ke dalam koteks global (ekonomi, krisis international), sektor pertanian (kemandirian para petani), sampai kepada Pilkada DKI Jakarta (kebetulan malam ini juga hadir panwaslu DKI Jakarta) yang memberikan paparan tentang beberapa kasus pada pemilukada DKI.

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="para pembicara yang luar biasa. sumber: dapur kenduri cinta"][/caption] Ada benang simpul yang menarik yang disampaikan Cak Nun kemudian dijabarkan secara luas oleh Syekh Nursamad, bahwa sebelum kita berpuasa sebetulnya kita sudah diasumsikan bertaqwa. Tujuan taqwa bukan serta merta karena puasa lalu jadi bertaqwa, kalau pola pikirnya seperti itu maka wajar saja kalau pas masuk Ramadhan mendadak semua jadi Islami, taqwa kabeh, acara Tv Islam kabeh, ucap Cak Nun dengan gaya khas Jombangannya. Namun menurut kang Nursamad bahwa sebetulnya kita sudah diasumsikan bertaqwa sebelum melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Jadi, kita tidak perlu menunggu puasa untu jadi bertaqwa, melainkan puasa itu untuk menjaga, melestarikan, memudawamahkan ketaqwaan kita untuk masa-masa setelah Ramadhan.

Menurut Cak Nun, KC malam ini merupakan KC yang barokah karena banyak narasumber-narasumber yang luar biasa, juga karena yang kita bahas adalah puasa. Tampak di kejauhan saya sepertinya mengenali seseorang, ketika saya datang menghampiri panggung ternyata disana juga ada Noe “Letto” (beserta beberapa personel Letto) bersama Ustadz Wijayanto. Kemudian saya pun ngobrol sesaat bersama mereka sambil merasakan nostalgia Jogja bersama para tokoh muda Jogjakarta ini.

*reportase komplitnya silahkan ke sini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline