Lihat ke Halaman Asli

Ginjal Muslim untuk Anak Yahudi: Haram? Halal? Atau hanya Kebesaran Jiwa Seorang Ayah?

Diperbarui: 19 Juli 2015   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini lagi sebuah tulisan saya di blog ini, yang ingin saya persembahkan kepada rekan-rekan di sini. Tulisan ini sudah saya tayangkan 8 tahun yang lalu. Tetapi, menurut saya, tetap aktual.

Juga, tulisan ini saya ubah sedikit tanpa mengubah isinya secara esensiil.

Menurut pendapat saya, tulisan ini masih aktual mengingat kebencian dan kemarahan yang saat ini masih membara dalam banyak jiwa di tanah-air ini.

"Agama seharusnya dijadikan landasan untuk mencintai, bukan dijadikan alasan untuk membenci."

Menjelang hari raya Idul Fitri 2006. Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun bermain perang-perangan dengan teman-temannya. Sambil tertawa-tawa dan menenteng senapan mainan, ia berlari melintasi sebuah jalan yang dipagari rumah-rumah yang sebagian sudah runtuh dan sebagian lagi masih dihuni.Tiba-tiba terdengar dua tembakan, dan anak itu, Ahmed al-Chatib, tersungkur dan tergeletak di tengah jalan tanpa bergerak. Darah membasahi aspal di sekelilingnya.

Di rumah sakit para dokter menyatakan, bahwa otak Ahmed telah kehilangan fungsi, biarpun organ-organnya masih berfungsi. Separuh wajahnya yang masih muda dan penuh mengandung harapan telah tercabik oleh salah satu tembakan tersebut dan peluru yang kedua mengenai perut bagian bawahnya dan mengakibatkan pendarahan yang tak bisa dihentikan. Brain dead. Vonis yang mutlak.

Sang ayah, dengan wajah yang gelap karena kesedihan, bertanya kepada dokter yang mengurus Ahmed:” Jadi, tidak ada harapan lagi?”

Dokter itu dengan mata memancarkan rasa kasihan dan juga kesedihan yang mendalam menjawab: “Tidak, otaknya sudah mati. Cuma pertanyaan waktu saja, sampai organ-organnya yang lain berhenti berfungsi dan semuanya akan berakhir.”

Al-Chatib merenung beberapa detik dan mengangkat wajahnya memandand dokter itu. Sambil mengusap setetes air mata yang membasahi ujung matanya, dia bertanya lagi:” Apakah organ-organ anak saya bisa menyelamatkan jiwa orang lain?”

Pertanyaan yang tak terduga ini menyentuh hati dokter tersebut yang hanya bisa menjawab dengan terbata-bat:” Ya. “, dan setelah mengerskan hati dokter itu bertanya lagi: “Apakah anda mempunyai syarat mengenai penerima organ anak anda?”

“Hanya satu: jangan diberikan ke pada tentara Israel. Berapa waktu yang masih ada sampai saya memutuskannya betul-betul?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline