Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Hari Filateli: Hobi yang Tak Akan Punah

Diperbarui: 29 Maret 2020   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi amplop-amplop langka dengan prangko Republik Indonesia Serikat (RIS). (Foto: BDHS)

Para penggemar filateli atau hobi mengoleksi prangko dan berbagai benda pos lainnya, mungkin tak lupa tanggal hari ini. Ya, betul. Tanggal 29 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Filateli Indonesia, mengacu pada tanggal berdirinya perkumpulan penggemar prangko yang pertama di Indonesia, yang ketika itu masih bernama Hindia-Belanda (Nederlands Indie).

Pada 29 Maret 1922 berdirilah secara resmi Postzegelsverzamelaars Club Batavia atau bisa diterjemahkan sebagai Klub Penggemar Prangko Batavia (Batavia adalah nama Kota Jakarta pada masa Hindia-Belanda).

Disebut secara resmi, karena memang sebenarnya kolektor-kolektor prangko telah bermunculan cukup lama sebelum 1922 atau 98 tahun lalu itu.

Di Tanah Air kita, prangko pertama diterbitkan pada 1 April 1864 bergambar siluet wajah Raja Willem III, Raja Belanda saat itu. Sementara di dunia, prangko pertama terbit pada 1 Mei 1840 bergambar siluet Ratu Victoria, Ratu Inggris saat itu. Namun prangko ini lebih dikenal dengan nama Penny Black, karena berharga satuan (nominal) 1 penny dan latar belakang prangkonya didominasi warna hitam.

Sejak saat itu, selain makin banyak prangko yang diterbitkan. Maka sejumlah penggemar dan kolektor prangko di Hindia-Belanda yang kebetulan bertempat tinggal di Batavia, sepakat mendirikan perkumpulan pada 29 Maret 1922. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Filateli Indonesia oleh Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) sebagai organisasi kolektor prangko di Indonesia. 

Penegasan tanggal itu sebagai Hari Filateli Indonesia semakin dikuatkan dengan perayaan khusus pada 29 Maret 2006 ketika berlangsungnya pertemuan para pimpinan organisasi filateli se-Asia-Pasifik (Federation of Inter-Asia Philately) yang diadakan di Yogyakarta, dan PFI menjadi tuan rumahnya.

Jumlah Cetak Berkurang

Sampul Hari Pertama terbitan Amerika Serikat untuk memperingati penyair Paul Laurence Dunbar, ditempel prangko seri penyair Indonesia terbitan 2019 (bergambar Raja Ali Haji dan Chairil Anwar) serta dibubuhi cap hari pertama. Koleksi unik yang tiada duanya. (Foto: BDHS)

Memang harus diakui, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kemudahan berkomunikasi saat ini, prangko bisa dikatakan jarang digunakan lagi untuk berkirim surat. Orang lebih mudah menggunakan gawai yang terhubung dengan internet untuk memberi kabar atau informasi kepada yang lainnya.

Itulah sebabnya, jumlah cetak prangko juga sudah berkurang jauh. Kalau pada masa Orde Baru jumlah cetak prangko minimal 1 juta keping -- bahkan bisa sampai 3 juta dan 5 juta keping -- setiap ada prangko baru terbit, saat ini jumlah cetak hanya maksimal 300.000 keping saja tiap prangkonya.

Namun bukan hanya karena pengguna prangko untuk berkirim surat berkurang jumlahnya, penyebab lain adalah karena kebijakan PT Pos Indonesia sebagai instansi yang melaksanakan kegiatan pos di Indonesia. 

Bila di negara lain, bahkan untuk surat tercatat (registered mail) dan bahkan layanan surat ekpress (EMS, express mail service) ke luar negeri masih menggunakan prangko, di Indonesia justru pihak PT Pos Indonesia tidak melayani kiriman itu dengan prangko. Konsumen harus membayar tunai di kantor pos, dan tidak lagi menggunakan prangko.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline