Lihat ke Halaman Asli

Rofiqi Apri

Penulis lepas

Refleksi Kemerdekaan

Diperbarui: 1 Agustus 2021   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini sekedar refleksi kecil tentang kemerdekaan, 17 Agustus tinggal menghitung hari, teriakan merdeka tentu saja mulai menggelegar membanjiri bumi pertiwi. Orang-orang kritis tersenyum seolah menyimpan sesuatu, sisanya ikut-ikutan teriakkan merdeka (meski dalam status WA). 

Lalu kita sepakat pada satu konsep bahwa merdeka adalah pengakuan bahwa siapapun punya hak yang sama sebagai warga negara, memiliki identitas, bebas berpendapat, negara melindungi dan lain lain dan lain lain. 

Salah seorang teman saya berkata, bahwa kita tidak akan pernah lupa beberapa kejadian seperti microphone yang tiba-tiba dimatikan, RUU KUHP yang demo berkepanjangan dan memakan banyak korban, hutang negara yang tidak terkontrol dan masih banyak lagi peristiwa di masa lalu yang sangat menggores dada terkait keadilan, pelanggaran HAM dan sejenisnya. 

Belum lagi, kita masih belum sepakat pada persoalan ketenangan hidup bermasyarakat, omongan tetangga yang menyakitkan, anti makan karena takut gemuk, ditanya kapan nikah, kapan wisuda dan kapan kapan lagi yang sungguh tidak perlu dijelaskan.

76 tahun kita teriak merdeka, pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menjelaskan bahwa negara wajib memelihara orang miskin dan anak terlantar, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjelaskan bahwa kekayaan alam dipergunakan dikuasai negara dan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. 

Jika mau ditelusuri, masih terlalu banyak hal kurang baik yang tak kunjung menemukan penyelesaian, berkali-kali ganti pemerintahan, tapi tak ada perubahan yang signifikan. 

Kemudian, hari ini kita sedang darurat, tidak hanya covid-19, tapi agraria, maritim dan terlalu banyak yang darurat di negeri ini. . 

Pendidikan tidak luput dari imbas kedaruratan , sejak lama kita tidak pernah mencapai klimaks dalam perdebatan soal Kurikulum, tidak pernah baku, pelajar menjadi korban, mereka seolah sedang berjudi dengan nasib, yang kuat sejak lahir, mereka yang menang, tidak pernah ada kesempatan untuk menunjukkan eksistensi, Ujian Nasional (UN) menjadi penentu. Untung saja, tanpa sengaja kita berhasil menghapus UN. 

Rakyat hanya bisa berharap, bahwa pemerintah harus benar-benar bekerja secara menyeluruh, tidak ada lagi dikotomi, tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi hak yang dibatasi, dan tidak ada lagi pertanyaan "kapan nikah?".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline