Lihat ke Halaman Asli

Bens Benedicts

Jendela Hati

Kyai Peteng

Diperbarui: 14 Oktober 2019   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ditepiskannya sorban menghalangi pandangan, Sang Kyai berjalan lambat, hingga akhirnya bersimpuh pada batu dihamparan ladang.

Duhai malam dalam sahaja bintang dan rembulan, dibuai kesenduan hembusan angin. Aku hanya mampu pandangi penuh keingintahuan dan keirian, desahnya

" Wahai Sang Kyai, tak lelahkah engkau selalu menyapaku seperti itu ? Bukankah engkau telah diberikan rahmat Ilahi dalam pemberkatanNya yang berbeda ? ," Jawab malam

" Oh malam, detak nadiku tak pernah berpaling menyebut asmaNya, pandanganku tak jauh dariNya pula," sahut Sang Kyai.

" Sejalur dua jalur tapakku membentuk  lingkaran ladang, hingga anak cucuku mengolahnya, untuk bekal kesehariannya. Dan beberapa tetes keringatku menggenang mata air, untuk melepas kedahagaan mereka.
Bahkan senandungku menjadikan syair kekhusyukan mereka, bertasbih memujiNya"

" Aku kian larut dalam keyakinanku, mengutus mereka menuntun rakyat sahaya bisa bersama membangun padepokanku yang kian rapuh. Akupun siap akan sangkala bertiup hingga memekakkan telingaku, namun setidaknya aku sudah menyiapkan mereka, pewaris padepokan yang tak lagi rapuh."

" Duhai malam yang gemintang, lihatlah tubuhku. Kering belulang mengalahkan dagingku, rahangku mengoyakan kerut wajahku. Tak salahkah aku berharap, berdoa, semua ini takkan jadi sia-sia. Merekapun adalah anak-anakku, cucu-cucu-cucuku.
Pun tetap bertasbih memujiNya, hingga tak satu nafaspun tertinggalnya.
Ku ingin menancapkan tongkatku diatas nisanku, ku urai sorbanku tergelar hingga kuburku.
Sebagai perlambang bahwa ruh-ku tetap bersemayam, mengawasi jalannya kehidupan, agar tak lepas dari ketauhidan.
Salahkah aku ?"

Airmata menetes diantara ceruk tua matanya, sesekali dia menyekanya

" Wahai malam, betapa aku merindukan Kasih Kekasih-ku, yang selalu membisikan kidung dalam sayup anginmu. Betapa aku menjaga Wajah Kekasih-ku, agar tak berpaling dariku, kuhampiri saat azan berkumandang. "

" Duhai Sang Kyai sahabatku, bukankah akupun demikian, kuukir bintang memenuhi pelataran malamku, memberikan makna bagi anak cucumu. Membaca dari segala tabir malam dan alam dengan ijinNya.
Dan dengan ijinNya akupun redup saat pagi menjelang, tak terlihat malamku.
Namun aku tetaplah malam, yang tetap menjadikan kenangan, dan demi waktu akupun selalu datang," jawab malam.

Sejenak Sang Kyai terdiam, dipandanginya tongkat dalam genggamannya. Matanya redup, menusuk kalbunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline