Mohon tunggu...
Bens Benedicts
Bens Benedicts Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Jendela Hati
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Adventures untuk Kata Hati sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kyai Peteng

14 Oktober 2019   04:43 Diperbarui: 14 Oktober 2019   04:47 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ditepiskannya sorban menghalangi pandangan, Sang Kyai berjalan lambat, hingga akhirnya bersimpuh pada batu dihamparan ladang.

Duhai malam dalam sahaja bintang dan rembulan, dibuai kesenduan hembusan angin. Aku hanya mampu pandangi penuh keingintahuan dan keirian, desahnya

" Wahai Sang Kyai, tak lelahkah engkau selalu menyapaku seperti itu ? Bukankah engkau telah diberikan rahmat Ilahi dalam pemberkatanNya yang berbeda ? ," Jawab malam

" Oh malam, detak nadiku tak pernah berpaling menyebut asmaNya, pandanganku tak jauh dariNya pula," sahut Sang Kyai.

" Sejalur dua jalur tapakku membentuk  lingkaran ladang, hingga anak cucuku mengolahnya, untuk bekal kesehariannya. Dan beberapa tetes keringatku menggenang mata air, untuk melepas kedahagaan mereka.
Bahkan senandungku menjadikan syair kekhusyukan mereka, bertasbih memujiNya"

" Aku kian larut dalam keyakinanku, mengutus mereka menuntun rakyat sahaya bisa bersama membangun padepokanku yang kian rapuh. Akupun siap akan sangkala bertiup hingga memekakkan telingaku, namun setidaknya aku sudah menyiapkan mereka, pewaris padepokan yang tak lagi rapuh."

" Duhai malam yang gemintang, lihatlah tubuhku. Kering belulang mengalahkan dagingku, rahangku mengoyakan kerut wajahku. Tak salahkah aku berharap, berdoa, semua ini takkan jadi sia-sia. Merekapun adalah anak-anakku, cucu-cucu-cucuku.
Pun tetap bertasbih memujiNya, hingga tak satu nafaspun tertinggalnya.
Ku ingin menancapkan tongkatku diatas nisanku, ku urai sorbanku tergelar hingga kuburku.
Sebagai perlambang bahwa ruh-ku tetap bersemayam, mengawasi jalannya kehidupan, agar tak lepas dari ketauhidan.
Salahkah aku ?"

Airmata menetes diantara ceruk tua matanya, sesekali dia menyekanya

" Wahai malam, betapa aku merindukan Kasih Kekasih-ku, yang selalu membisikan kidung dalam sayup anginmu. Betapa aku menjaga Wajah Kekasih-ku, agar tak berpaling dariku, kuhampiri saat azan berkumandang. "

" Duhai Sang Kyai sahabatku, bukankah akupun demikian, kuukir bintang memenuhi pelataran malamku, memberikan makna bagi anak cucumu. Membaca dari segala tabir malam dan alam dengan ijinNya.
Dan dengan ijinNya akupun redup saat pagi menjelang, tak terlihat malamku.
Namun aku tetaplah malam, yang tetap menjadikan kenangan, dan demi waktu akupun selalu datang," jawab malam.

Sejenak Sang Kyai terdiam, dipandanginya tongkat dalam genggamannya. Matanya redup, menusuk kalbunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun