Lihat ke Halaman Asli

Benito Rio Avianto

Ekonom, Statistisi, Pengamat ASEAN, Alumni STIS dan UGM

Melawan Black Campaign Sawit Indonesia dengan Teknologi 4IR

Diperbarui: 11 Agustus 2022   15:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia Hi-Tech. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengelolaan Sawit Berkelanjutan Berbasis Teknologi sebagai Upaya Melawan Kampanye Negatif Sawit Indonesia di Pasar Global

Indonesia merupakan negara terbesar penghgasil sawit (CPO).  Dengan mengekspor CPO keberbagai Negara, tentu saja devisa yang masuk juga sangat besar.  Berdasarkan laporan Kementerian Koordinator Bidang Preekonomian tahun 2021, tercatat bahwa sawit menyumbangkan 3,5% terhadap Produk Domestik (PDB) atau senilai Rp 595 Triliun dari total Rp 17.000 Triliun PDB Indonesia di tahun 2021. 

Sawit juga menyumbangkan nilai yang signifikan terhadap ekspor Indonesia tahun 2021, dimana eksopor CPO mencapai 13,5% atau senilai USD 31,2 Miliar dari total nilai ekspor sebesar USD 231 Miliar. Dari kedua data tersebut tampak peran sawit yang sangat besar dalam perekonomian nasional, bahkan ada kecenderungan meningkat nilainya dari tahun ke tahun.

Melihat besarnya kontribusi sawit di Indonesia, maka banyak negara yang iri dengan produktivitas dan nilai ekonomi sawit dengan melancarkan kampanye negative/black campaign terhadap sawit Indonesia. Republik Indonesia seringkali mendapat sorotan dan tuduhan negatif dari dunia internasional, khususnya pasar Eropa. 

Beberapa negara menganggap bahwa masalah menanam kelapa sawit di tanah gambut dan hutan primer dan grassland penyebab emisi gas rumah kaca. Dari latar belakang tersebut, pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi strategi pemerintah Indonesia dalam mengatasi black campaign sawit untuk meningkatkan ekspor crude palm oil (CPO).

Salah satu hambatan yang dilakukan Eropa adalah penerapan Renewable Energy Directive (RED) II.  RED II dimaksudkan hanya untuk mengatur sejauh mana biofuel (termasuk CPO) tertentu dapat dihitung oleh negara-negara anggota Uni Eropa (EU) untuk mencapai target energi berkelanjutan mereka. 

Namun, teks RED II yang disetujui menetapkan bahwa kontribusi dari kategori bahan bakar nabati tertentu, terutama yang memiliki risiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan tidak langsung (bentuk kampanye negatif) dan dari perluasan makanan atau bahan baku, yang area produksinya secara signifikan merupakan lahan dengan stok karbon tinggi, akan dibatasi pada tingkat konsumsi tahun 2019. Kampanye negatif sawit  ini terkait RED II ini banyak sekali digunakan Bangsa Eropa.

Black campaign selalu menjadi hambatan dan momok bagi industri sawit Indonesia dalam melakukan perdagangan sawit ke pasar global. Menurut hemat saya bahwa isu black campaign yang bermain di level "narasi" dengan dipenuhi kepentingan politik Negara-negara Eropa dalam melindungi produk minyak nabati dengan melanggar fair trade yang disepakati dalam Organisasi perdagangan dunia (WTO).  

Permainan narasi ini sebenarnya tidak efektif kalau dicounter dengan "narasi" juga, seperti narasi "sawit baik" misalnya. Malahan hal tersebut justru mendapat sentimen negatif dari masyarakat internasional.

Apabila pemerintah ingin merumuskan contra narasi atas black campaign, pemerintah harus bisa untuk menyediakan data/recording mengenai tata kelola kebun yang berkelanjutan sesuai dengan standar internasional, guna menunjukkan bahwa CPO yang Indonesia hasilkan berasal dari tata kelola perkebunan yang baik/sustainable. 

Namun sayangnya selama ini belum ada yang melakukannya hinngga saat ini. Sehingga counter narasi kampanye negatif sawit terus berlangsung tanpa mendapatkan hasil yang memuaskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline